21/11/16

Melalui Cara Tuhan [Chapter 2]





Jason, temanku sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama itu mengetahui sepak terjangku saat di bangku sekolah dulu. Aku sering risih dengan sikapnya yang sering nempel-nempel denganku, katanya agar ia bisa ketularan famous juga sepertiku pada saat itu. Entahlah, aku sendiri tidak tahu seeksis apa diriku saat di bangku sekolah dulu.
Jason mengetahui banyak hal yang kualami saat masih sekolah dulu. Diantara sekian banyaknya teman perempuan yang menyukaiku, mungkin yang paling berkesan dan terkenang di benak kebanyakan temanku adalah perempuan bernama Adinda itu. Adinda seperti namanya ia bak seorang putri raja yang cantik jelita, berhati emas, bersuara lembut, berambut badai, bahkan kecerdasannya tak perlu diragukan lagi. Tak usah ditanyakan lagi berapa banyak pria yang menyukainya lantas patah hati karena ditolaknya. Pria-pria itu seringkali menuduh bahwa akulah penyebabnya.

Perempuan yang disebut-sebut primadona sejagat sekolah itu dikabarkan menyukai diriku. Aku yang disebut-sebut pria yang cukup pantas bersanding dengannya itu seringkali dicocok-cocokkan dengannya. Aku bisa melihat jelas tingkah tersipu Adinda kala itu, bagaimana wajahnya memerah, sesekali tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan yang kupikir lembut itu, berpura-pura melirik ke arah lain sambil sesekali memelintir rambutnya dengan jemarinya.  
Aku paham dengan komentar orang-orang di sekitarku, mereka mengatakan berbagai macam hal yang membuatku seolah-olah harus memaksa diriku sendiri untuk menerima kehadiran Adinda, orang-orang itu mengatakan, Adinda itu sempurna, Adinda itu gadis idaman, Siapa pria yang berani menolaknya? Pria sombong mana yang sampai sekarang menggantung perasaannya? Pria macam apa yang diinginkan Adinda.
Sampai obrolan itu merembet pada namaku. Jadi, Pria itu bernama Faras? Mengapa Faras tidak juga meresponnya? Apa pria itu tidak waras? Padahal ia cocok dengan Adinda, kita lihat saja nanti, bagaimana kalau kita taruhan kira-kira mereka nanti akan bersatu atau tidak?
Setiap orang yang kutemui tak percaya padaku saat aku mengatakan bahwa hingga kini tak pernah sekalipun aku menjalin suatu hubungan dengan gadis manapun. Lalu mereka tertawa, lantas mengatakan bahwa wajahku yang katanya rupawan ini begitu sia-sia. Aku tak peduli. Beberapa diantara mereka penasaran, bertanya padaku perempuan seperti apa yang kuinginkan, atau bahkan sudah adakah perempuan itu hanya saja aku belum mendapatkannya? Aku hanya menjawabnya dengan senyuman.

Kami kembali disibukkan dengan pelbagai kegiatan sehari-hari di asrama. Sebagai seorang senior, aku mengambil alih tugas pengecekan kebersihan tiap kamar. Melatih junior dalam persiapan penampilan pedang pura juga masih menjadi bagian dari tugas kami.
Aku tak menyangka mendapati diriku sudah sejauh ini, proses pembuatan skripsi di akademi pelayaran ini tidak seperti pembuatan skripsi di universitas pada umumnya. Mulai sejak semester 3 hingga semester empat, kami ditugaskan untuk menuntaskan tiga bab awal dalam skripsi. Kemudian berlanjut hingga menjalani ujian keahlian bidang, dalam hal ini aku mengambil bidang teknik mesin. Setelah itu, pada semester lima diadakan praktik, tetapi kami harus memiliki segala kelengkapannya seperti sertifikat, paspor, dan lain sebagainya. Mengenai praktiknya ini, selama setahun aku ditempatkan di Turki. Tentunya bukan hal yang mudah hingga aku bisa melakukan praktik di sana. Waktu itu aku melakukan ujian di suatu perusahaan yang pada akhirnya menempatkanku di negara Turki bersama dengan empat orang kawanku yang lain.
Setelah itu, pada semester enam, kami pulang dan kembali belajar lagi untuk melanjutkan skripsi kami pada semester tujuh hingga delapan. Saat skripsi sudah selesai, kami melakukan persentasi. Ini tak semudah yang kuceritakan, sebab jika dosenmu merasa skripsimu begitu “kurang”, dosenmu bisa saja memintamu mengganti skripsimu.

Sebelumnya aku tak pernah bermimpi untuk bergabung di teknik mesin seperti ini. Seperti halnya juga yang dipikirkan oleh orang-orang di sekelilingku. Sejak dahulu aku sangat menyukai sastra. Ya, sejak aku bertemu dengan gadis itu. Kala itu, semuanya kupendam. Tak pernah kutunjukkan. Aku lebih suka melihatnya dari kejauhan, menyentuhnya lewat puisi-puisiku sendiri, memeluknya melalui dekapan doa-doa. Tiba waktunya aku berpisah dengan gadis itu, perlahan pula puisi-puisi mulai tak pernah kusentuh. Ya, ada memori yang kurindu. Kemudian seperti sebuah lagu melewatiku, Jikustik dengan lagunya Puisi, membawaku mengenangnya.
Namun, kau tahu, aku tidak pernah benar-benar melupakannya. Kumpulan puisi-puisi itu masih kusimpan rapi. Ketika pada akhirnya aku bertemu suatu waktu yang mengharuskanku untuk mencintai seseorang, mengapa yang terbayang di benakku hanya dia? Meski selalu samar wajahnya, sebab sudah terlama aku kehilangannya.

Aku merenung, terus merenung. Sudahlah, cinta bukan keterpaksaan, pada akhirnya cinta akan menemuimu, bagaimanapun caranya, ada takdir yang digenggam oleh-Nya. Aku percaya pada takdir-Nya.
Kupejamkan mata. Bayangan gadis itu dan bayangan Adinda silih berganti memenuhi ruang pikirku. Mungkinkah kubiarkan masa lalu menguap, mencintai yang kini ada? Yang katanya sempurna? Yang katanya pantas bersanding denganku? Lalu, adakah yang bertanggungjawab bila di kemudian hari perasaanku pada masa laluku meluap-luap? Lebih bandang dari sebelumnya?

***

Aku menghela nafas, berusaha tersenyum. Wajahku begitu tegang. Hari kelulusan bukanlah akhir dari perjuanganku. Ini adalah babak baru perjuangan dalam hidupku. Waktu menantangku untuk menjawab babak baru ini. Tiap-tiap temanku mencari teman hidup yang akan menemani mereka di babak baru ini. Aku terpaku melihat seorang gadis tersenyum sumringah dari jauh kepadaku. Sesekali diseka dengan hati-hati tepi matanya. Mungkin khawatir make-up yang dikenakannya runtuh. Ia mengenakan sebuah kebaya yang anggun, membuat penampilannya begitu manis hari ini. Perlahan ia mendekat ke arahku. Aku masih terpaku.
Ia berhenti di hadapanku yang masih terpaku. Aku menelan ludah. Mata cokelatnya memandang ke dalam mataku. Gadis itu menangis, kemudian tangan kirinya menutupi mulutnya. Sementara itu, buket bunga yang ada di tangan kanannya ia berikan padaku. Aku menerima buket bunga itu, ingin rasanya memeluknya. Aku tahu, ia menangis bahagia. Tetapi, aku merasa tak pantas untuk melakukan itu.
Kusentuh pundaknya pelan. Kudekati bibirku di telinganya. Kubisiki dia.
“Terimakasih banyak. Sekali lagi terimakasih. Kamu akan selalu menjadi temanku yang terbaik, Adinda.”
Sesaat air di matanya bertambah deras. Kini, ia terlihat tak memedulikan lagi riasan di wajahnya. Rambut poninya mulai tak beraturan. Kemudian, ia berhenti menangis.
“Terimakasih kembali, Faras. Aku akan selalu ada buat kamu.” Ia berbalik, meninggalkanku.

***

Aku melewati masa-masa yang cukup sulit dalam hidupku. Masa dimana aku harus mengambil banyak keputusan yang berdampak permanen, aku harus memilih jalan hidupku, aku harus menjalaninya meski aku berulangkali diterpa kebimbangan.
Ari sungguh-sungguh melamar Juleha, beberapa hari selepas hari kelulusan. Aku tahu, keseriusan Ari bukan main saat membicarakan soal pernikahan. Sedangkan, Jason, yang kupikir masih begitu kekanak-kanakkan dan sifat jahil yang tak kunjung hilang itu justru membuatku tercengang karena ia tak mau kalah dari Ari. Lewat beberapa minggu pernikahan Ari, Jason melamar seorang teman perempuannya, yang baru kuketahui rupanya perempuan itu adalah Renita, teman kami semasa SMA dulu. Aku tak tahu sejak kapan Jason mengincar Renita karena saat duduk di bangku sekolah dulu hanya sosok bernama Febby lah yang sering diceritakan olehnya. Kupikir ia menyukai Febby, meski pada akhirnya Renita yang menikah dengannya. Ada banyak misteri di dalam hidup ini, memang tak perlu semua hal kita ketahui, kita mengerti.


BERSAMBUNG

Sumber gambar: Tumblr.com

2 komentar: