Patah sudah
hatiku tatkala berpamitan dengannya. Ia yang semakin melemah di ranjangnya
menatapiku dengan penuh harap untuk kutemani di sisa hidupnya. Pun aku yang
tiap kali mengajukan perpisahan namun tak pernah ikhlas untuk meninggalkannya.
Ia yang tak banyak menunjukkan ekspresi di wajahnya tetapi tatkala matanya
menemukanku, senyum di bibirnya merekah seolah aku harus selalu tahu bahwa ia
bahagia aku berkunjung ke sisinya.
Patah sudah
hatiku tatkala berpamitan dengannya. Ia yang semakin melemah bahkan tak sanggup
meraih tanganku tatkala ingin kucium tangannya. Dengan nada suara bergetar ia
mengatakan ketidaksanggupannya. Aku dengan kedua kaki ku masih berdiri kokoh di
hadapannya. Menahan butiran airmata yang hampir tumpah. Aku tak ingin menangis
di depannya, aku tak ingin keibaanku terlihat. Aku ingin ia tahu bahwa aku
mendukungnya untuk tetap semangat menjalani hidup, bersabar membelanjakan usia.
Aku ingin ia percaya bahwa aku akan selalu kembali lagi, akan selalu pulang,
akan selalu membelikan makanan kesukaannya. Bahkan aku ingin ia tahu bahwa
karena makanan kesukaannya itulah yang membuatku tersadar bahwa seseorang telah
datang semalam. Seseorang itu mengganti makanan kesukaannya, sehingga aku
bertanya-tanya orang macam apa yang berani datang dan mengganti makanan di atas
mejanya.
Patah sudah
hatiku saat menuliskan ini. Bagaimana tidak, menatapnya membuatku membenci
kesibukanku yang kebanyakan kuciptakan sendiri. Memilih beranjak
meninggalkannya seolah banyak sekali tanggungjawab yang kumiliki terhadap
dunia. Sudah berapa kali aku menemukannya hampir terjatuh, sudah berapa kali
aku menemukannya tak mampu mengangkat kakinya sendiri, bahkan ia membutuhkan
banyak waktu hanya untuk menggeser posisi duduknya.
Patah sudah
hatiku karena tak bisa selamanya berada di sisinya. Kata Mas Esok pada kekasihnya,
ketika beberapa hal membatasiku
membersamaimu, kata-kataku akan melakukannya untukmu. Jika pada saya, ini
berlaku diantara saya dengan kakek tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar