26/03/18

Dikalahkan Diri Sendiri


Ada waktu dimana aku dikalahkan oleh diriku sendiri.

Ada waktu dimana aku merasa hampir gila, menjalani kebosanan yang berulang kali, diserbu gelombang rindu yang membuat aku hampir menyerah. Dan kesekian kalinya aku tidak tahu, aku putus asa terhadap apa. Kemudian aku berjalan dalam kebimbangan waktu dan pada akhirnya aku melangkah pulang.

Aku tahu, berapa banyak rumah yang boleh untuk aku singgahi, berapa banyak rumah yang boleh aku datangi, berapa banyak rumah yang merindukan aku. Namun, tetap saja aku akan memilih rumah itu. Rumah yang berdiri bahkan sebelum aku lahir ke dunia, rumah yang di depannya  terdapat pabrik raksasa yang kini ditinggal oleh pemiliknya, pabrik yang atapnya akan berbunyi nyaring saat tertiup angin karena terbuat dari seng, pabrik yang kuyakini penuh makhluk tak kasat mata bersembunyi dan diam-diam mengaku-ngakui bahwa tempat itu kini milik mereka setelah sekian lama tak dihuni. Aku tak peduli, meski dari balik jendala kamarku, pabrik raksasa itu jelas nampak adanya, terkadang-kadang tertutup sebagian pandangan sebab dinding pembatasnya dikelililingi oleh pepohonan bambu yang ikut bergoyang semarak saat angin bertiup ke arahnya, lalu diiringi oleh atap seng yang saling bersenggolan karena angin yang merangkak di atasnya.

Aku melangkah pulang. Ke sebuah rumah dimana tiada seorangpun berani membangunkanku. Dimana ketika aku terbangun, segelas teh manis hangat sudah menyapa pagiku. Aku turun dari ranjang membuka tirai jendela kamarku. Mentari malu-malu memperlihatkan sinarnya. Ternyata gerimis sisa semalam masih ada, membuat pagi menjadi buram. Aku kembali ke ranjang. Kusentuh kedua kakiku, dinign. Kuselimuti tubuhku. Kemudian meraba-raba isi tasku. Sebuah headshet kemudian terpasang di kedua telingaku, perlahan mengalun lagu Eternal Love by Michael Learns to Rock. Di sisi tas yang lain, sebuah komik menanti dan sebuah kitab tentang penghambaan.

Aku senang berada di hari-hari seperti ini, di hari dimana aku hanya memutuskan hal-hal sederhana. Hendak bangun jam berapa hari ini, hendak sarapan apa pagi ini, hendak memutar lagu apa hari ini, atau hendak membaca buku apa hari ini.

Gerimis berhenti. Kulepas headshetku, kututup bukuku. Lagi-lagi dingin, kakiku turun menyentuh lantai. Aku keluar kamar, melewati ruang keluarga yang sunyi meski di sana ada sebuah televisi megah yang berteriak-teriak volumenya, tiada siapapun di sini, televisi itu kesepian. Aku menuju kolam belakang rumah. Gemericik air menggaduh di telingaku. Sejenak kupandangi arakan awan.. Ah.. Eternal Love-nya seperti masih berdengung kembali.. It’s beautiful feeling..

Aku mengambil sisa makanan di piring, kusebarkan di kolam itu. Aku tak pernah bosan melakukan ini, siapa yang bosan untuk membahagiakan makhluk lain? Tetapi bukan makhluk yang itu.

Ikan-ikan itu tak pilih-pilih makanan, tidak sepertiku. Mereka berebut makanan namun mereka terlihat bahagia, hidup dalam gerombolan. Mungkin tak pernah kesepian bahkan mungkin tak pernah kedinginan hidup di dalam sana.

Bukankah seharusnya aku lebih bahagia dari mereka? Namun, tetap saja rasa putus asa hanya mampu membuatku meringkuk di atas ranjangku, di balik selimutku, di dalam gelapnya kamarku. Sendirian.

Satu hal yang tak perlu kuputuskan untuk hari ini,

Aku masih mampu menahannya.

Untuk tidak mengatakan apapun.

Untuk menyamarkannya.

Apapun itu yang meresahkanku.

Aku bertahan untuk tidak memberitahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar