Ada waktu dimana aku dikalahkan oleh diriku
sendiri.
Ada waktu dimana
aku merasa hampir gila, menjalani kebosanan yang berulang kali, diserbu
gelombang rindu yang membuat aku hampir menyerah. Dan kesekian kalinya aku
tidak tahu, aku putus asa terhadap apa. Kemudian aku berjalan dalam kebimbangan
waktu dan pada akhirnya aku melangkah pulang.
Aku tahu, berapa
banyak rumah yang boleh untuk aku singgahi, berapa banyak rumah yang boleh aku
datangi, berapa banyak rumah yang merindukan aku. Namun, tetap saja aku akan
memilih rumah itu. Rumah yang berdiri bahkan sebelum aku lahir ke dunia, rumah
yang di depannya terdapat pabrik raksasa
yang kini ditinggal oleh pemiliknya, pabrik yang atapnya akan berbunyi nyaring
saat tertiup angin karena terbuat dari seng, pabrik yang kuyakini penuh makhluk
tak kasat mata bersembunyi dan diam-diam mengaku-ngakui bahwa tempat itu kini
milik mereka setelah sekian lama tak dihuni. Aku tak peduli, meski dari balik
jendala kamarku, pabrik raksasa itu jelas nampak adanya, terkadang-kadang
tertutup sebagian pandangan sebab dinding pembatasnya dikelililingi oleh
pepohonan bambu yang ikut bergoyang semarak saat angin bertiup ke arahnya, lalu
diiringi oleh atap seng yang saling bersenggolan karena angin yang merangkak di
atasnya.
Aku melangkah
pulang. Ke sebuah rumah dimana tiada seorangpun berani membangunkanku. Dimana
ketika aku terbangun, segelas teh manis hangat sudah menyapa pagiku. Aku turun
dari ranjang membuka tirai jendela kamarku. Mentari malu-malu memperlihatkan
sinarnya. Ternyata gerimis sisa semalam masih ada, membuat pagi menjadi buram.
Aku kembali ke ranjang. Kusentuh kedua kakiku, dinign. Kuselimuti tubuhku.
Kemudian meraba-raba isi tasku. Sebuah headshet kemudian terpasang di kedua
telingaku, perlahan mengalun lagu Eternal Love by Michael Learns to Rock. Di
sisi tas yang lain, sebuah komik menanti dan sebuah kitab tentang penghambaan.
Aku senang berada
di hari-hari seperti ini, di hari dimana aku hanya memutuskan hal-hal
sederhana. Hendak bangun jam berapa hari ini, hendak sarapan apa pagi ini,
hendak memutar lagu apa hari ini, atau hendak membaca buku apa hari ini.
Gerimis
berhenti. Kulepas headshetku, kututup bukuku. Lagi-lagi dingin, kakiku turun
menyentuh lantai. Aku keluar kamar, melewati ruang keluarga yang sunyi meski di
sana ada sebuah televisi megah yang berteriak-teriak volumenya, tiada siapapun
di sini, televisi itu kesepian. Aku menuju kolam belakang rumah. Gemericik air
menggaduh di telingaku. Sejenak kupandangi arakan awan.. Ah.. Eternal Love-nya
seperti masih berdengung kembali.. It’s
beautiful feeling..
Aku mengambil
sisa makanan di piring, kusebarkan di kolam itu. Aku tak pernah bosan melakukan
ini, siapa yang bosan untuk membahagiakan makhluk lain? Tetapi bukan makhluk
yang itu.
Ikan-ikan itu
tak pilih-pilih makanan, tidak sepertiku. Mereka berebut makanan namun mereka
terlihat bahagia, hidup dalam gerombolan. Mungkin tak pernah kesepian bahkan
mungkin tak pernah kedinginan hidup di dalam sana.
Bukankah
seharusnya aku lebih bahagia dari mereka? Namun, tetap saja rasa putus asa
hanya mampu membuatku meringkuk di atas ranjangku, di balik selimutku, di dalam
gelapnya kamarku. Sendirian.
Satu hal yang
tak perlu kuputuskan untuk hari ini,
Aku masih mampu
menahannya.
Untuk tidak
mengatakan apapun.
Untuk menyamarkannya.
Apapun itu yang
meresahkanku.
Aku bertahan
untuk tidak memberitahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar