06/03/18

Kotak - Kotak Bakpia



Tempo hari saya keluar kota dengan menggunakan bus. Sore itu menjelang maghrib, saat senja sedang bersinar dengan indahnya, seorang bapak penjual bakpia keliling terlihat dengan peluh mengejar bus demi bus untuk ia naiki guna menawari para penumpang barang sedikit oleh-oleh. Dari kejauhan ia berjuang menyebrang melewati kendaraan demi kendaraan untuk sampai pada bus yang saya tumpangi.

Kala itu saya hanya berpikir, mungkin tidak akan banyak yang beli tetapi kenapa ia berjuang begitu keras untuk sampai naik ke bus ini? Awalnya ia membagikan kotak-kotak berisikan bakpia dengan aneka macam rasa tersebut, bagi yang tertarik boleh dibeli jika tidak maka dikembalikan lagi padanya. Awalnya saya ragu ada yang mau membeli, sebab hampir kebanyakan penumpangnya adalah laki-laki. Biasanya yang gila belanja oleh-oleh itu ibu-ibu.

Saya diam saja memperhatikan kegigihan penjual yang kira-kira usianya baru kepala tiga itu. Tidak berapa lama, saya takjub. Ketika itu saya duduk di bagian tengah bus, di depan sudah ada yang membeli satu kotak, tiba di barisan saya, tepatnya di seberang tempat duduk saya, seorang pemuda yang menurut saya usianya sebaya dengan saya, ia memborong bakpia-bakpia itu! tidak tanggung-tanggung ia membeli sepuluh kotak bakpia! Ya ampun! Padahal tadi sempat jengkel sekali sama pemuda yang satu ini. Bagaimana tidak, tadi ketika saya masih menunggu bus di tempat agensi bus-nya, semua pria di sana merokok! Semuanya! Termasuk orang agensi busnya, bapak-bapak di sebelah saya, di depan saya, di seberang saya! pindah ke sana – ke sini serba salah, deh! Tapi, paling jengkel ya sama pemuda ini! Masih muda gitu, loh! (kalau saya anggap dia seumuran sama saya, berarti saya masih muda juga, ya? WKWK) masih muda dan merokok, sayang sekali anda tidak bisa lolos sebagai seseorang yang saya harapkan untuk mendapatkan saya. PRET.

Namun, seketika opini buruk tentang pemuda tadi hilang entah kemana. Bayangkan dia memborong sepuluh kotak bakpia, yang ada di pikiran saya saat itu adalah, Gila, rejeki si bapak emang nggak kemana. Si pemuda yang beli ini kemungkinan dia penyayang terutama ke keluarganya. Sempat-sempatnya beli sepuluh kotak bakpia, buat apa lagi kalau bukan buat oleh-oleh untuk keluarga dan teman-temannya. Atau enggak… dia emang disuruh ibunya buat beli oleh-oleh, atau enggak…. dia beli buat dijual kembali, WKWK. Ah, tidak, tetap saja saya setuju dengan pemikiran saya yang pertama bahwa pemuda ini tipe penyayang.

Bergeser ke bagian belakang, tetap ada yang minat dengan bakpia si bapak penjual. Tak lama, saya melihat si bapak penjual turun dari bus. Saya tercengang. Kantongan besar berisi kotak-kotak bakpia yang ia bawa saat naik ke bus saya, lenyap! Ia hanya turun dengan tangan kosong tanpa kantongan besar itu, hanya ada tas kecil yang ia slempangkan. Wah, bakpia-bakpia si bapak habis tanpa tersisa! Saya melihat jam tangan saya, belum maghrib, masih pukul lima sore. Samar-samar saya lihat kebahagiaan di wajah bapak itu bersamaan dengan bus saya yang melaju dengan cepat meninggalkan si bapak penjual di belakang.

Saya berdoa, semoga si bapak penjual tidak lupa mengucap syukur atas rejeki dan segala hal baik dalam hidupnya. Semoga.

Satu hal lagi, saya melihat keikhlasan dalam wajah bapak itu. Ia menawari jualannya dengan ramah, ia rela mengejar bus demi bus, ia terlihat gigih. Sebab, banyak penjual di luar sana yang saya temui, tidak ramah bahkan kurang ikhlas dalam bekerja serta bermalas-malasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar