Tempo hari saya
keluar kota dengan menggunakan bus. Sore itu menjelang maghrib, saat senja
sedang bersinar dengan indahnya, seorang bapak penjual bakpia keliling terlihat
dengan peluh mengejar bus demi bus untuk ia naiki guna menawari para penumpang
barang sedikit oleh-oleh. Dari kejauhan ia berjuang menyebrang melewati
kendaraan demi kendaraan untuk sampai pada bus yang saya tumpangi.
Kala itu saya
hanya berpikir, mungkin tidak akan banyak
yang beli tetapi kenapa ia berjuang begitu keras untuk sampai naik ke bus ini?
Awalnya ia membagikan kotak-kotak berisikan bakpia dengan aneka macam rasa
tersebut, bagi yang tertarik boleh dibeli jika tidak maka dikembalikan lagi
padanya. Awalnya saya ragu ada yang mau membeli, sebab hampir kebanyakan
penumpangnya adalah laki-laki. Biasanya yang gila belanja oleh-oleh itu
ibu-ibu.
Saya diam saja
memperhatikan kegigihan penjual yang kira-kira usianya baru kepala tiga itu. Tidak
berapa lama, saya takjub. Ketika itu saya duduk di bagian tengah bus, di depan
sudah ada yang membeli satu kotak, tiba di barisan saya, tepatnya di seberang
tempat duduk saya, seorang pemuda yang menurut saya usianya sebaya dengan saya,
ia memborong bakpia-bakpia itu! tidak tanggung-tanggung ia membeli sepuluh
kotak bakpia! Ya ampun! Padahal tadi sempat jengkel sekali sama pemuda yang
satu ini. Bagaimana tidak, tadi ketika saya masih menunggu bus di tempat agensi
bus-nya, semua pria di sana merokok! Semuanya! Termasuk orang agensi busnya,
bapak-bapak di sebelah saya, di depan saya, di seberang saya! pindah ke sana –
ke sini serba salah, deh! Tapi, paling jengkel ya sama pemuda ini! Masih muda
gitu, loh! (kalau saya anggap dia seumuran sama saya, berarti saya masih muda
juga, ya? WKWK) masih muda dan merokok, sayang sekali anda tidak bisa lolos
sebagai seseorang yang saya harapkan untuk mendapatkan saya. PRET.
Namun, seketika
opini buruk tentang pemuda tadi hilang entah kemana. Bayangkan dia memborong
sepuluh kotak bakpia, yang ada di pikiran saya saat itu adalah, Gila, rejeki si bapak emang nggak kemana. Si
pemuda yang beli ini kemungkinan dia penyayang terutama ke keluarganya.
Sempat-sempatnya beli sepuluh kotak bakpia, buat apa lagi kalau bukan buat
oleh-oleh untuk keluarga dan teman-temannya. Atau enggak… dia emang disuruh
ibunya buat beli oleh-oleh, atau enggak…. dia beli buat dijual kembali, WKWK.
Ah, tidak, tetap saja saya setuju dengan pemikiran saya yang pertama bahwa
pemuda ini tipe penyayang.
Bergeser ke
bagian belakang, tetap ada yang minat dengan bakpia si bapak penjual. Tak lama,
saya melihat si bapak penjual turun dari bus. Saya tercengang. Kantongan besar
berisi kotak-kotak bakpia yang ia bawa saat naik ke bus saya, lenyap! Ia hanya
turun dengan tangan kosong tanpa kantongan besar itu, hanya ada tas kecil yang
ia slempangkan. Wah, bakpia-bakpia si bapak habis tanpa tersisa! Saya melihat
jam tangan saya, belum maghrib, masih pukul lima sore. Samar-samar saya lihat
kebahagiaan di wajah bapak itu bersamaan dengan bus saya yang melaju dengan
cepat meninggalkan si bapak penjual di belakang.
Saya berdoa,
semoga si bapak penjual tidak lupa mengucap syukur atas rejeki dan segala hal
baik dalam hidupnya. Semoga.
Satu hal lagi,
saya melihat keikhlasan dalam wajah bapak itu. Ia menawari jualannya dengan
ramah, ia rela mengejar bus demi bus, ia terlihat gigih. Sebab, banyak penjual
di luar sana yang saya temui, tidak ramah bahkan kurang ikhlas dalam bekerja
serta bermalas-malasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar