Fihi Ma Fihi
Sebuah buku
tentang filsafat agama yang saya temui ketika saya pergi keluar kota untuk
menikmati weekend bersama dokter
kesayangan saya. Rencana keluar kota saat itu hampir-hampir gagal karena saya
tidak berhasil menghubungi saudara saya yang saya pikir rumahnya bisa saya
tinggali semalam saja. Sebelum weekend
tiba, pada hari kamisnya saya tengah chat
dengan sahabat saya. Kami baru saja berkenalan ketika saya tiba di Jogjakarta,
tetapi saya merasa seperti sudah bersahabat lama dengannya. Meski ia hanya satu
tahun di Jogja, banyak waktu yang telah kami habiskan bersama-sama, perjuangan
keras untuk belajar demi masuk PTN kala itu.
Waktu chat kala itu saya benar-benar lupa
rumahnya dimana. Tiba pada pertanyaan saya bertanya dia ada dimana sekarang,
dia menjawab bahwa dia ada di rumahnya. Saya kembali bertanya dengan sangat
bodohnya karena lupa rumahnya dimana, usai dia menjawab kota tempat tinggalnya,
saya merasa ia adalah jawaban untuk keraguan saya untuk berakhir pekan di luar
kota. Luar biasanya memang keluarganya sangat menyambut kami, bersama kedua
orangtuanya, ia menjemput kami di pinggir jalan selepas kami turun dari bus,
mengajak siang bersama, bahkan kedua orangtuanya berbaik hati mengantarkan kami
kemanapun tempat wisata yang kami inginkan hingga larut malam.
Tiba saatnya
kami beristirahat, tidur bertiga dalam kamar anak perempuan yang saya kenal
sebagai sosok yang cuek, simple, easy
going, tak banyak bicara, tidak moody,
keren pokoknya! Di atas meja belajarnya kala itu, saya melihat buku berjudul Fihi Ma Fihi, buku itu pasti yang sedang
dibacanya saat ini! Dan memang benar saja. Bacaan yang dibaca oleh sahabat saya
ini memang selalu tidak bisa tertebak. Ia selalu membaca buku-buku yang berat,
tidak biasa, tapi tentunya buku yang keren. Kebanyakan bacaannya adalah
tulisan-tulisan penulis luar. Hampir-hampir setiap buku di tangannya adalah asing
di mata saya. Kala itu Fihi Ma Fihi menarik saya untuk membacanya. Buku seorang
filsuf, tentu tentang ketuhanan, sebuah buku karya Jalaluddin Rumi yang namanya
sangat fenomenal. Buku ini sekaligus menjadi awal ketertarikan saya terhadap
buku-buku berbau ketuhanan lainnya.
Kalau diantara
pembaca ada yang tertarik, carilah buku Fihi Ma Fihi dengan cover putih, bukan
hitam. Saya tidak tahu pasti apakah isinya berbeda, tetapi font dan peletakkan
tulisan serta konsep buku bahkan kertas yang digunakan jauh berbeda dengan cover
yang versi berwarna putih. Carilah buku yang bercover putih karena menurut saya
buku tersebut lebih nyaman untuk dibaca. Jangan tertukar, sebab pada cover
tidak saya temui pembeda diantara kedua buku tersebut.
Rectoverso
Rectoverso
karangan Dee Lestari masuk ke dalam list buku favorit saya sejak dulu! Rectoverso
memiliki konsep buku yang berbeda dengan kebanyakan buku lainnya. Covernya yang
hardcover, font huruf yang tak biasa, disisipi gambar-gambar sunyi berwarna di
setiap babnya dengan menghadirkan 11 cerita pendek sederhana yang menyentuh
hati. Setiap ceritanya memiliki inspirasi yang berbeda-beda, tetapi selalu
tentang hal yang sederhana. Buku ini juga berhasil difilmkan padahal setiap
babnya memiiki cerita yang berbeda-beda. Karena saya sudah selesai membacanya
atas pinjaman buku seorang teman, saya tidak bermaksud untuk membelinya meski
saya jatuh hati pada buku yang satu ini.
Suatu hari saya
datang ke sebuah acara amal. Di sana dibuka garage
sale yang menjual berbagai macam buku-buku yang masih sangat bagus-bagus.
Saya menemukan Rectoverso diantara buku-buku itu. Ah, sayang sekali, buku
sebagus itu ditelantarkan di sana. Saya mengambilnya dan langsung membayarnya.
Kini, buku itu ada di rak buku saya bersama dengan buku-buku kesayangan saya
lainnya.
Terkadang, kita
mampu untuk menahan untuk tak memiliki. Namun, ada kalanya waktu-waktu dimana
kita bertemu dengannya lagi dan diberi kesempatan untuk bersamanya. Mungkin
juga untuk selamanya.
Reclaim Your Heart
Buku yang satu
ini pertama kali saya menemukannya saat tengah blogwalking ke blog seorang
penulis yang cukup ternama di kalangan kami sendiri. Namun, saya menemukannya
pada postingan-postingan lamanya, lama sekali. Saat itu ia bahkan menyisipkan link untuk mendownload versi PDF nya,
rupanya berbahasa inggris, dan itu membuat saya cukup lama untuk membacanya
terlebih saya tidak menyukai berlama-lama menatap layar gadget. Entah kenapa, kata hati bilang bahwa buku ini bagus karena
juga direkomendasikan oleh seorang penulis yang bagus.
Lalu, lagi-lagi
penulis lainnya merekomendasikan buku yang sama. Maka isenglah saya ke toko
buku di dekat sini mencari buku tersebut. Di toko buku pertama bukunya telah
habis, pada toko buku kedua, terkejutlah saya karena di sana masih ada hampir
sepuluh buku. Saya tidak menyesal untuk buku yang satu ini. Tulisannya
mencerahkan orang-orang yang mau membuka pikirannya untuk menerima
wawasan-mencerahkan tentang cinta, duka, dan bahagia. Misal, mengapa orang-orang harus saling meninggalkan?
The Life-Changing, Magic of Tidying
Up
Buku ini adalah
buku yang direkomendasikan oleh ibu saya saat saya mengeluhkan bahwa betapa
banyaknya barang saya dan betapa sulitnya saya untuk melepaskannya. Buku ini
adalah buku karya Marie Kondo tentang seni dalam beres-beres. Unik, ya? Rupanya
beres-beres pun ada seninya, ada tekniknya, ada cara yang jitu yang memudahkan
kita dalam membereskan barang-barang di rumah kita.
Penulis mencoba
menganjurkan kita untuk mulai membuang satu buah benda perhari. Lalu seperti
apa benda-benda itu? Buku ini mengajarkan kita untuk membuang barang yang
apabila saat kita menyentuhnya, benda tersebut tidak membangkitkan kegembiraan,
memulai kebiasaan berbenah yang efektif dengan sisem berbenah berdasarkan
kategori bukan lokasi. Selain itu, jangan mulai dari barang kenangan, karena
akan lama dan sulit menentukan karena kita lama menimang-nimang. Hal penting
lainnya juga jangan sampai terlihat oleh orangtua atau saudara saat hendak
membuang semua barang yang kita rasa tak terpakai itu, sebab mereka akan
menjadi penyortir kedua yang biasanya akan menahan barang-barang itu,
mengatakan bahwa barang itu suatu saat akan dipakai, atau buku itu nanti akan
dibaca, padahal suatu saat atau nanti adalah sama dengan “tidak akan pernah”,
itu prinsip yang perlu ada di logika, agar berbenah dengan mengurangi barang
menjadi berhasil. Coba saja lihat barang di rumah yang sudah 3 bulan, 6 bulan,
atau bahkan selama setahun tidak pernah terpakai. Mengapa sulit untuk dibuang?
Toh, tidak pernah dipakai?
Buku ini cukup
menampar orang-orang seperti saya yang senang menimbun barang, senang bermain
dengan kalimat suatu hari nanti, atau orang-orang yang khawatir membutuhkan
barang tersebut lagi sehingga tak cukup berani untuk membuangnya. Oleh karena
itu, mengurangi barang atau tidak menimbun, dimulai dengan tidak membeli buku
yang tidak benar-benar saya sukai, juga tidak membeli sepatu berturut-turut
dalam waktu berdekatan, apalagi membeli tas. Saya masih berusaha untuk
membenahi pakaian-pakaian lama saya untuk saya desain ulang seperti kemauan
saya sehingga saya tidak perlu membeli baju baru, ya meski kadang-kadang sulit mengendalikan juga, sih.
Saya pikir buku
tersebut sulit ditemukan di Indonesia, maka saya bermaksud untuk mencari
reviewnya saja di google. Tiba-tiba
pekan ini, roommate saya mengatakan
bahwa selama seminggu kedepan akan ada temannya yang datang dan menginap
bersama kami. Tiba malam harinya, kakak tersebut membaca sebuah buku yang nama
penulisnya tak asing di benak saya. Malam itu saya berniat mencari tahu tentang
buku yang ditulis oleh Marie Kondo, dan tiba-tiba saja di kamar saya ada
seseorang yang tengah membaca buku tersebut. Kedatangan orang tersebut seolah
menjawab doa ibu saya agar saya diberi pemahaman dalam seni beres-beres melalui
buku karya Marie Kondo. Wah! Suatu kebetulan yang sudah tertakdir!
Setengah Isi Setengah Kosong
Buku ini adalah
buku berisikan motivasi yang berhasil saya selesaikan ketika saya duduk di
bangku sekolah dasar bahkan catatan berbagai quote yang saya salin dari buku tersebut masih saya simpan hingga
sekarang. Sejak sekolah dasar, saya senang memaca buku motivasi. Buku motivasi menarik
lainnya adalah buku Chicken Soup for The Soul Series yang menyajikan judul
beragam, bahkan ketika itu buku-buku tersebut menawarkan versi komik full colour yang membuat anak-anak
bertambah semangat membaca. Saya merasa beruntung di sekolahkan di sekolah
dengan perpustakaan yang memiliki koleksi buku-buku bernilai. Hingga tamat
sekolah dasar, saya hampir menghabiskan lima buah kartu perpustakaan yang
masing-masing kartu berisi 30 list buku-buku yang pernah saya pinjam. Sayangnya
tulisan bapak penjaga perpustakaan kala itu cukup sulit dibaca, sehingga saya
sulit mendeteksi buku-buku apa saja yang pernah saya baca ketika sekolah dasar
dulu. Beberapa saya temui dan berusaha mengenal judulnya adalah bacaan remaja,
padahal kala itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, pantas saja buku tersebut
terasa tidak nyambung dan tak sampai di logika saya ketika dulu membacanya.
Saya sangat suka
dengan buku motivasi satu ini, Setengah
Isi Setengah Kosong! Sebagai seorang anak kecil dulu, banyak sekali pelajaran
yang bisa saya ambil dari sana. Kisah-kisahnya juga bersifat internasional,
diambil dari berbagai negeri. Sayangnya, suatu hari ketika saya bertanya pada
ibu saya, dimana buku tersebut, ibu saya mengatakan bahwa seseorang telah
meminjamnya namun beliau lupa siapa orangnya.
Bertahun-tahun
usai dari hari itu, hingga di suatu hari seoranng teman membuat sebuah story di instagram bahwa ia tengah membereskan rak bukunya yang super besar
dan bermaksud membuang buku-buku yang dirasanya tidak penting lagi. Isenglah saya
mengatakan bahwa saya siap menampungnya. Dengan cepat ia membalas, ia menyuruh
saya untuk datang ke rumahnya. Dengan senang hati saya datang dan banyak sekali
buku-buku bagus yang ingin dibuangnya. Mata saya berbinar melihat sebuah buku bercover
biru berjudul Setengah Isi Setengah
Kosong. Lupa-lupa ingat, seingat saya dulu warna covernya putih. Waktu berlalu
banyak, mungkin juga covernya berganti seiring musim berganti.
Bahagianya,
seperti telah menemukan apa yang telah lama hilang, perjalanan ajaib ini
membawa kembali apa yang pernah pergi. Meski waktu berlalu banyak, ada saja
perasaan-perasaan yang tak pernah berganti, melihat buku itu ternyata masih ada
di sekitar diri, akan saya jadikan teman kembali, sesuatu yang pernah memberi
saya banyak motivasi. Terima kasih!
Sirkus Pohon
Membaca karya Andrea
Hirata telah saya mulai sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu ibu saya
membelikan dua series dari tetralogi Laskar Pelangi, yakni berjudul Laskar Pelangi
dan Sang Pemimpi. Buku-buku tersebut tak pernah selesai saya baca hingga tayang
film-filmnya. Buku-buku tersebut sangat berat untuk dibaca oleh saya yang kala
itu masih sekolah dasar. Lebih tebal dari buku-buku yang biasa saya baca. Ah,
tiba-tiba merindu pada mereka! Buku-buku periode sekolah dasar hingga tamat
sekolah menengah atas, semuanya dijadikan satu dalam satu kardus di dalam
sebuah rumah yang hanya pernah saya tengok satu kali dalam hidup saya. Ya,
semoga hanya sekali, saya berharap Allah mengabulkan doa kami agar kedua
orangtua kami pindah rumah lagi dan menetap di kota yang kami impikan, pergi bersama
kardus-kardus berisikan buku-buku itu yang sebagian besar larut dalam
kenangannya masing-masing. Sebab dulu saya tak berani membeli buku karena
harganya selangit bagi anak sekolah, hampir semua buku adalah dibelikan atau
berupa pemberian dari orang-orang yang berbaik hati meninggalkan
kenang-kenangan yang akan selalu saya susun rapi di rak, seharusnya. Tetapi,
keadaan membuatnya tertimbun di dalam kardus-kardus usang. Sampai bertemu
kembali buku-bukuku!
Lalu lama tak
membaca buku karya Andrea Hirata sampai bertemu novel berjudul Ayah di suatu
hari. Terpukau dibuatnya, sebuah tragedi yang diceritakan secara menarik
berdasarkan urutan waktu yang tak biasa dan bahasa alias gaya menulis Andrea
Hirata yang terbilang membuat saya ketagihan membaca. Maka ketika ia
menerbitkan kembali sebuah novel cerdas berjudul Sirkus Pohon, saya bergegas ke
toko buku. Bukan, bukan tak mau ketinggalan dengan yang lainnya, tetapi tak
sabar bertemu dengan tulisan-tulisan yang selalu membuat saya ketagihan.
Usai membeli,
saya ada janji bertemu seorang teman. Terkejut karena rupanya ia juga membawa
buku yang serupa! Bahkan ia pre-order
di toko buku dimana saya baru saja membeli buku tersebut. Kami tertawa dan
sebahagia itu karena jatuh cinta pada buku yang sama. Bahagia selalu saja dari
hal-hal yang sederhana.
Ini hanya
beberapa perjalanan ajaib buku-buku yang sampai ke tangan saya. Saya masih
menunggu untuk perjalanan-perjalanan menakjubkan yang selanjutnya! Setiap perjalanan
punya cerita, setiap cerita mencipta kenangan, dan setiap kenangan yang baik
akan mempengaruhi masa-masa yang akan datang dengan kebaikannya. Terima kasih!
Haha sirkus pohon. Kayak tau :)
BalasHapusPura-pura tidak tahu saja :)
Hapus