21/10/18
20/10/18
Kebetulan yang Cantik; Muhammad by Martin Lings dan Kisah Abu Ubaydah
Pada jam yang
sama, saat saya sedang membaca buku Martin Lings tentang sejarah panjang kehidupan
Nabi Muhammad, saya tidak sengaja melihat story seorang teman, isinya persis
dengan bagian yang tengah saya baca. Hampir-hampir tiap kisah membuat saya
terpukau, bukan hanya saja soal orang-orang yang berani berperang karena bercita-cita
mati syahid tetapi juga dibuat terkagum-kagum pada sosok Muhammad, sosok yang
tak pernah kita jumpa, tetapi selalu kita rindukan, kita sebut-sebut namanya,
dan berharap pertemuan dengannya InsyaaAllah kelak di Surga. Aamiin
Di dalam buku
itu, dikisahkan saat Nabi mengerahkan tiga ribu pasukan bersenjata dan
mengangkat Zayd sebagai komandan mereka dengan instruksi: jika Zayd terbunuh,
maka posisiya diganti Ja’far. ‘Abd Allah ibn Rawahah ditunjuk sebagai orang
ketiga.
Abd’ Allah
membonceng seorang anak yatim yang diasuhnya. Di perjalanan, anak itu mendengarnya
melantunkan syair yang ia gubah sendiri yang mengungkapkan keinginan untuk
tinggal di Syria setelah pasukan kembali. “Ketika mendengar syair tersebut aku
menangis,” kata anak tersebut. Abd’ Allah lalu berkata, “Apa yang
menyulitkanmu, anak yang malang, jika Tuhan menakdirkan aku mati syahid, maka
aku meninggalkan dunia ini dengan segala kefanaan, penderitaan, dan
kepedihannya, dan engkau pulang dengan selamat.” Sesudah itu, selama di
perhentian di waktu malam, ia shalat dua rakaat, dilanjutkan doa permohonan
yang panjang. “Kemudian, ia memanggilku dan berkata ‘aku di sini, melayanimu. Jika
Tuhan berkenan, aku mendambakan kesyahidan.’ begitu katanya.”
Pada saat perang
terjadi, ruang antara Mut’ah dan Madinah terpantau oleh Nabi. Beliau melihat
Zayd dengan bendera putihnya memimpin pasukannya bertempur. Beliau menyaksikan
Zayd terluka berkali-kali hingga akhirnya terkapar di tanah. Ja’far mengambil bendera dan bertempur hingga
menemui ajalnya pula akibat luka yang mencinderainya. Lantas ‘Abd Allah
mengambil bendera dan bertempur dengan penuh semangat, melawan musuh yang
dibalas dengan serangan hebat. Ia pun tewas dan pasukannya mundur dengan
kocar-kacir. Sahabat lainnya, Tsabit ibn Arqam, mengambil bendera dan
menyatukan pasukan kembali. Namun, ia kemudian memberikan bendera itu pada
Khalid yang semula menolak kehormatan tersebut karena Tsabit lebih berhak.
“Ambillah.” kata Tsabit. “Aku memang mengambilnya tetapi untuk diberikan
kepadamu.” Maka, Khalid mengambil alih komando dan menyatukan kembalii barisan,
Kekalahan di
Mut’ah memacu orang Arab Utara untuk memperkuat perlawanan mereka terhadap
negara Islam baru itu. Nabi mengutus ‘Amr mengepalai tiga ratus orang. Musim
dingin datang lebih awal tahun itu. Biasanya, begitu sampai di persinggahan
terakhir mereka mengumpulkan kayu bakar. Namun, ‘Amr melarang menyalakan api,
sehingga mereka mengeluh. Keluhan mereka berhenti saat ‘Amr berkata, “Kalian
diperintahkan untuk mendengarkan aku dan menaaatiku, maka lakukanlah!”
Sebenarnya itu
baru sebagian kecil ketegasan yang sangat berpengaruh terhadap orang-orang di
sekitar mereka yang diceritakan dalam buku itu. Masih banyak di bagian bab-bab
lainnya yang luarbiasa besar pengaruhnya, manakala seorang pemimpin sebuah kaum
dengan begitu mudah mengislamkan kaumnya karena rasa percaya dan cinta yag
besar suatu kaum terhadap pemimpin-pemimpin mereka.
Setelah
diketahui bahwa jumlah pasukan musuh jauh lebih besar dari yang diperkirakan,
dan sedikit harapan akan mendapat bantuan dari pihak setempat, ‘Amr mengutus
seseorang kepada Nabi untuk meminta penambahan kekuatan. ‘Abu Ubaydah segera
dikirim bersama dua ratus orang. Sebagai salah seorang sahabat terdekat Nabi
dan orang yang selalu ikut dalam pertempuran, ia berharap menjadi pemimpin. Akan
tetapi, ‘Amr bertahan karena pendatang baru itu baginya hanyalah pasukan bantuan
dan dirinyalah yang memegang posisi komandan. Nabi telah menyuruh Abu Ubaydah
agar menjalin kerjasama yang baik dan menghindari perpecahan di antara dua
kekuatan itu. Maka ia berkata pada ‘Amr, “Jika engkau tidak menaatiku, demi
Tuhan, aku akan menaatimu.” Ketika Nabi mendengar hal ini, beliau memuji Abu
Ubaydah.
Sebuah kalimat
yang menyejukkan hati juga terselip dalam bab peperangan tersebut, Alquran,
firman Allah, adalah kitab mulia dan kitab surga. Membaca ayat-ayat Alquran
ditambah dengan sunah nabi, telah mengilhami kaum mukmin dengan pasti bahwa
mereka akan mudah meraih kepuasan abadi dari setiap keinginan sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Hasil kebahagiaan adalah suatu ukuran keimanan. Nabi
bersabda, “Segala sesuatu, apa pun keadaannya, adalah baik bagi orang beriman.”
18/10/18
Yang Tak Perlu Diungkapkan
Waktu itu, waktu kami belum asing
satu sama lain.
“Bagaimana hari ini?
menyenangkan?”
“Iya, alhamdulillah.”
“Coba cerita hari ini ngapain
saja?”
“Hari ini
asdfghjklzxcvbnmqwertyuiop. Kalau kamu ngapain saja seharian?”
“Aku tadi seharian
mnbvcxzasdfghjklpoiuytrewq.”
“Loh, kamu ndak shalat? (Dia
hanya menyebutkan makan, tidur, dan sebagainya.)”
“Loh, untuk apa aku sebutkan?
Shalat itu kewajiban. Tanpa harus aku sebutkan, shalat harus tetap dilakukan,
bukan?”
Ah, seandainya pada masa kini
orang-orang memiliki pemikiran yang sama tentang ini, tentang hal berharga yang
dilakukan tanpa harus diungkapkan.
Akan Selalu Ada
Saya malu, bila harus
tergesa-gesa apabila berangkat kuliah karena terlambat bangun, sementara di
luar sana ada orang yang usahanya lebih besar daipada saya.
Saya malu, bila harus mengeluh
betapa melelahkannya untuk berjalan keluar membeli suatu kebutuhan, sementara
di luar sana ada orang yang usahanya lebih besar daripada saya.
Bahkan untuk melakukan apapun, usaha
mereka akan selalu lebih besar dari usaha saya yang terbesar.
Mereka adalah seorang mahasiswa
yang tunanetra, berjalan penuh semangat ditemani alat peraba di tangannya. Untuk
seseorang yang berjalan tanpa mellihat apa yang ada di hadapannya, bagi saya adalah
suatu keluarbiasaan meski sulit. Lantas mengapa ia masih bersusah-susah untuk datang
kuliah? Kuliah yang kelasnya di antara gedung-gedung megah bertingkat, di
antara teman-teman yang kemampuan menangkap pelajarannya mungkin mampu untuk jauh
lebih baik, di antara orang-orang yang tak seperti dirinya. Lantas, mengapa ia
masih mampu untuk terus berjalan? Sebab mungkin ia melihat dan meraba segala
hal dengan hatinya, mungkin pula dosanya tak sebanyak kita yang semenit saja
gadget tergenggam, entah sudah berapa banyak kemaksiatan yang kita lihat,
meskipun Tuhan tahu bahwa kita tak sengaja. Ah, manusia, selalu saja ingin dimaklumi.
Mereka adalah seorang bapak yang
digandeng erat oleh kedua putra dan putrinya, di sisi kanan dan kirinya. Pemandangan
tentang keikhlasan anak-anak yang menggandeng tangan bapaknya saat mereka
hendak membeli makan malam di luar, kebahagiaan sederhana yang disuguhkan waktu
saat saya sedang menunggu pesanan pecel lele saya di suatu warung. Percayalah,
bahwa di setiap tunggu, waktu selalu sediakan pelajaran untuk kau sentuh, namun barangkali kau sibuk
dengan diriimu, tidak coba melihat ada sesuatu apa di sekitarmu.
Lagi Mikir!
Pak Dosen: “Apa diamnya seorang
ulama itu menandakan bahwa dia setuju?”
Kelas: *Hening*
Pak Dosen: “Coba kalau seorang
gadis, apakah diamnya tanda setuju?”
Mahasiswi: "Lagi mikir itu, Pak!”
Pak Dosen: “Kalau gadis, dia diam
berarti setuju, bukan mikir! Mikir kok setengah tahun!”
Kelas: *Sedetik hening* *Kemudian
auto ngakak*
Langganan:
Postingan (Atom)