Saya malu, bila harus
tergesa-gesa apabila berangkat kuliah karena terlambat bangun, sementara di
luar sana ada orang yang usahanya lebih besar daipada saya.
Saya malu, bila harus mengeluh
betapa melelahkannya untuk berjalan keluar membeli suatu kebutuhan, sementara
di luar sana ada orang yang usahanya lebih besar daripada saya.
Bahkan untuk melakukan apapun, usaha
mereka akan selalu lebih besar dari usaha saya yang terbesar.
Mereka adalah seorang mahasiswa
yang tunanetra, berjalan penuh semangat ditemani alat peraba di tangannya. Untuk
seseorang yang berjalan tanpa mellihat apa yang ada di hadapannya, bagi saya adalah
suatu keluarbiasaan meski sulit. Lantas mengapa ia masih bersusah-susah untuk datang
kuliah? Kuliah yang kelasnya di antara gedung-gedung megah bertingkat, di
antara teman-teman yang kemampuan menangkap pelajarannya mungkin mampu untuk jauh
lebih baik, di antara orang-orang yang tak seperti dirinya. Lantas, mengapa ia
masih mampu untuk terus berjalan? Sebab mungkin ia melihat dan meraba segala
hal dengan hatinya, mungkin pula dosanya tak sebanyak kita yang semenit saja
gadget tergenggam, entah sudah berapa banyak kemaksiatan yang kita lihat,
meskipun Tuhan tahu bahwa kita tak sengaja. Ah, manusia, selalu saja ingin dimaklumi.
Mereka adalah seorang bapak yang
digandeng erat oleh kedua putra dan putrinya, di sisi kanan dan kirinya. Pemandangan
tentang keikhlasan anak-anak yang menggandeng tangan bapaknya saat mereka
hendak membeli makan malam di luar, kebahagiaan sederhana yang disuguhkan waktu
saat saya sedang menunggu pesanan pecel lele saya di suatu warung. Percayalah,
bahwa di setiap tunggu, waktu selalu sediakan pelajaran untuk kau sentuh, namun barangkali kau sibuk
dengan diriimu, tidak coba melihat ada sesuatu apa di sekitarmu.
Saya sempat membatin, “sepertinya
pernah melihat mereka, sepertinya pula bapak itu tunanetra.” Saat itu malam
hari sehingga saya tidak mampu melihatnya secara jelas. Di depan sana, tak jauh
dari mereka, permukaan jalan tidak rata, saya membatin lagi jikalau beliau buta
semoga ia tidak tersandung di sana. Mungkin anak-anak itu sibuk bahagia dengan
makan malam yang baru saja mereka beli dan tak sabar untuk segera melahapnya di
rumah, sehingga tak menyadari bahwa sebentar lagi bapak yang mereka tuntun akan
tersandung sementara mereka sendiri tidak karena mereka tahu bahwa permukaan
jalan bergelombang.
Benar saja, tiba-tiba bapak itu hampir
terjatuh. Anak-anaknya segera membantunya dan dengan sabar bapak itu memaklumi
yang terjadi dan meneruskan perjalan mereka. Saya lihat mereka berbelok. Oh,
rupanya barangkali di sekitar sana rumah mereka.
Hari-hari berikutnya saya semakin
sering tak sengaja melihat bapak tersebut, meski tanpa dituntun oleh anak-anaknya.
Terkadang saya ingin menangis, melihat beliau beberapa kali hampir tersandung,
terhuyung, atau bahkan berkali-kali menabrak sesuatu. Saya tahu betul bahwa menabrak
tembok sangat sakit, lantas ada berapa banyak kesabaranmu wahai, Bapak? Bahkan
setelah berkali-kali kau mungkin terjatuh, tetapi barangkali ikhlas sudah
tertanam dalam hatimu sehingga kau terus memilih untuk keluar rumah, untuk
terus berjalan, untuk mengurus segala kebutuhan rumahmu, kau tahu betul peranmu
sebagai seorang ayah dan seorang kepala keluarga. Saya berharap ayah-ayah yang
lain usahanya mampu lebih besar darimu, tetapi saya sadari bahwa sama seperti
diri saya, ayah-ayah yang lain harus menyadari pula bahwa di luar sana akan
selalu ada orang yang usahanya lebih besar dari mereka, orang itu adalah
engkau, Pak, seorang bapak tanpa penglihatan tetapi tidak pernah kehilangan
hatinya untuk terus berjuang membahagian keluarga yang kau punya.
Karena itu, ayah-ayah yang lain
akan terus berusaha menjadi ayah yang terbaik dan anak-anaknya akan selalu
mengatakan bahwa ayah mereka telah menjadi orangtua yang baik sekalipun mungkin
ayah-ayah mereka merasa gagal karena sikap-sikap kita yang terkadang sulit
untuk dididik, sulit untuk berbuat baik, sulit untuk melakukan hal yang mereka
inginkan meski itu hanya sekedar hal sederhana, seperti memberi kabar dan
menanyakan kabar mereka. Aih, mendadak mellow. Percayalah, untuk hal satu ini,
siapapun boleh menjadi mellow, untuk kegalauan yang lain saya menolak keras untuk
mellow.
Kini, bila kita merasa usaha kita
adalah yang terbesar, barangkali kita lupa bahwa akan selalu ada orang yang
usahanya lebih besar dari kita.
Merembet kepada usaha yang kita
punya, seorang teman pernah menulis dalam prosanya, “Ada saja orang yang upayanya
lebih keras dari penolakanmu terhadapnya dan ada saja orang yang tabahnya lebih
besar dari cinta ditambah kesalahan-kesalahan yang kaupunya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar