18/10/18

Akan Selalu Ada


Saya malu, bila harus tergesa-gesa apabila berangkat kuliah karena terlambat bangun, sementara di luar sana ada orang yang usahanya lebih besar daipada saya.

Saya malu, bila harus mengeluh betapa melelahkannya untuk berjalan keluar membeli suatu kebutuhan, sementara di luar sana ada orang yang usahanya lebih besar daripada saya.

Bahkan untuk melakukan apapun, usaha mereka akan selalu lebih besar dari usaha saya yang terbesar.

Mereka adalah seorang mahasiswa yang tunanetra, berjalan penuh semangat ditemani alat peraba di tangannya. Untuk seseorang yang berjalan tanpa mellihat apa yang ada di hadapannya, bagi saya adalah suatu keluarbiasaan meski sulit. Lantas mengapa ia masih bersusah-susah untuk datang kuliah? Kuliah yang kelasnya di antara gedung-gedung megah bertingkat, di antara teman-teman yang kemampuan menangkap pelajarannya mungkin mampu untuk jauh lebih baik, di antara orang-orang yang tak seperti dirinya. Lantas, mengapa ia masih mampu untuk terus berjalan? Sebab mungkin ia melihat dan meraba segala hal dengan hatinya, mungkin pula dosanya tak sebanyak kita yang semenit saja gadget tergenggam, entah sudah berapa banyak kemaksiatan yang kita lihat, meskipun Tuhan tahu bahwa kita tak sengaja. Ah, manusia, selalu saja ingin dimaklumi.

Mereka adalah seorang bapak yang digandeng erat oleh kedua putra dan putrinya, di sisi kanan dan kirinya. Pemandangan tentang keikhlasan anak-anak yang menggandeng tangan bapaknya saat mereka hendak membeli makan malam di luar, kebahagiaan sederhana yang disuguhkan waktu saat saya sedang menunggu pesanan pecel lele saya di suatu warung. Percayalah, bahwa di setiap tunggu, waktu selalu sediakan pelajaran  untuk kau sentuh, namun barangkali kau sibuk dengan diriimu, tidak coba melihat ada sesuatu apa di sekitarmu.

Saya sempat membatin, “sepertinya pernah melihat mereka, sepertinya pula bapak itu tunanetra.” Saat itu malam hari sehingga saya tidak mampu melihatnya secara jelas. Di depan sana, tak jauh dari mereka, permukaan jalan tidak rata, saya membatin lagi jikalau beliau buta semoga ia tidak tersandung di sana. Mungkin anak-anak itu sibuk bahagia dengan makan malam yang baru saja mereka beli dan tak sabar untuk segera melahapnya di rumah, sehingga tak menyadari bahwa sebentar lagi bapak yang mereka tuntun akan tersandung sementara mereka sendiri tidak karena mereka tahu bahwa permukaan jalan bergelombang.

Benar saja, tiba-tiba bapak itu hampir terjatuh. Anak-anaknya segera membantunya dan dengan sabar bapak itu memaklumi yang terjadi dan meneruskan perjalan mereka. Saya lihat mereka berbelok. Oh, rupanya barangkali di sekitar sana rumah mereka.

Hari-hari berikutnya saya semakin sering tak sengaja melihat bapak tersebut, meski tanpa dituntun oleh anak-anaknya. Terkadang saya ingin menangis, melihat beliau beberapa kali hampir tersandung, terhuyung, atau bahkan berkali-kali menabrak sesuatu. Saya tahu betul bahwa menabrak tembok sangat sakit, lantas ada berapa banyak kesabaranmu wahai, Bapak? Bahkan setelah berkali-kali kau mungkin terjatuh, tetapi barangkali ikhlas sudah tertanam dalam hatimu sehingga kau terus memilih untuk keluar rumah, untuk terus berjalan, untuk mengurus segala kebutuhan rumahmu, kau tahu betul peranmu sebagai seorang ayah dan seorang kepala keluarga. Saya berharap ayah-ayah yang lain usahanya mampu lebih besar darimu, tetapi saya sadari bahwa sama seperti diri saya, ayah-ayah yang lain harus menyadari pula bahwa di luar sana akan selalu ada orang yang usahanya lebih besar dari mereka, orang itu adalah engkau, Pak, seorang bapak tanpa penglihatan tetapi tidak pernah kehilangan hatinya untuk terus berjuang membahagian keluarga yang kau punya.

Karena itu, ayah-ayah yang lain akan terus berusaha menjadi ayah yang terbaik dan anak-anaknya akan selalu mengatakan bahwa ayah mereka telah menjadi orangtua yang baik sekalipun mungkin ayah-ayah mereka merasa gagal karena sikap-sikap kita yang terkadang sulit untuk dididik, sulit untuk berbuat baik, sulit untuk melakukan hal yang mereka inginkan meski itu hanya sekedar hal sederhana, seperti memberi kabar dan menanyakan kabar mereka. Aih, mendadak mellow. Percayalah, untuk hal satu ini, siapapun boleh menjadi mellow, untuk kegalauan yang lain saya menolak keras untuk mellow.

Kini, bila kita merasa usaha kita adalah yang terbesar, barangkali kita lupa bahwa akan selalu ada orang yang usahanya lebih besar dari kita.

Merembet kepada usaha yang kita punya, seorang teman pernah menulis dalam prosanya, “Ada saja orang yang upayanya lebih keras dari penolakanmu terhadapnya dan ada saja orang yang tabahnya lebih besar dari cinta ditambah kesalahan-kesalahan yang kaupunya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar