Yogyakarta
mengenalkan saya pada berbagai cerita hidup orang. Bukan, bukan berarti kota
lain tak memiliki makna, tetapi ketika saya menemukan “hal itu” saat tengah
berada di Yogyakarta.
Pagi ini untuk
kelima kalinya, lima hari berturut-turut, saya mendengar dari pengeras suara
masjid, bahwa seseorang meninggal dunia. Di sini rajin ada yang meninggal dunia
memang, tetapi baru kali ini secara lima hari berturut-turut saya mendengar
dengan telinga saya sendiri. Saya jadi termakan mitos yang simbah katakan tempo
hari. Simbah adalah orangtua berumur menjelang 80 tahunan yang menjadi orang
yang memasakkan sarapan untuk kami di pagi hari. Kata simbah, berita kematian
itu tak akan berhenti jika belum tujuh kali, dan hari ini adalah hari kelima
sejak kemarin-kemarin yang dengan telinga saya sendiri menyimaknya bahwa ada yang
meninggal dunia.
Sayangnya, pagi
ini simbah tak datang masak sarapan untuk kami. Simbah sakit, lebih tepatnya
beberapa bulan yang lalu jatuh dan tangannya diperban. Sekarang perbannya
hendak dilepas.
Pagi ini,
Setelah belok kanan melewati lampu merah perempatan, mata saya menemukan
sepasang adik kakak berseragam, kakaknya SMA, adiknya SMP, mereka menggunakan
seragam, berjalan kaki hendak pergi ke sekolah. Kelihatannya biasa saja, tetapi
ternyata kakaknya buta, tangan kanannya menggenggam sebuah tongkat dan tangan kirinya
berpegangan pada tas sang adik. Adiknya menuntunnya dengan jalan
perlahan-lahan. Allah sungguh banyak mendatangkan kita cara-cara untuk lebih
bersyukur kepada-Nya. Sapulah pandanganmu ke sekelilingmu, ada banyak sekali
hal yang mengesankan, yang membuatmu akan terkesan dengan segala nikmat yang
telah Allah beri kepadamu.
Pulang dari
kampus, di jalan, seorang juru arah, maksudnya yang membantu pengendara di
tikungan, terlihat mengejar-ngejar sesuatu. Ah, rupanya uang selembar seribu
rupiah yang terbang usai diberikan oleh pengendara mobil yang telah dibantunya.
Kadang, mungkin bagi kita diikhlaskan saja, toh hanya seribu rupiah. Tetapi,
saya pernah membaca sebuah buku, bahwa bahkan uang seratus rupiahpun jangan
pernah dianggap kecil. Bagaimana kita mau menghargai hal-hal besar, jika tak
mulai dengan menghargai hal-hal kecil? Bahkan jika itu hanya uang seratus
rupiah?
Kemudian, ah,
lagi-lagi lewat jalan ini, jalan seturan. Beberapa hari yang lalu saya melihat
kecelakaan di depan mata kepala saya. Saya shock.
Saya berada
tepat di samping mobil yang menabrak seorang penyebrang, pejalan kaki. Jarak
mobil dan penyebrang mungkin hanya satu langkah. Posisi penyebrang memang di
tengah jalan karena dia menyebrang setengah-setengah dulu. Posisi berdirinya
tepat di depan si pengemudi. Saya heran, kok si pengemudi mobil tidak mengklakson
padahal ada orang di depan mobilnya dengan jarak yang sangat dekat. Karena
penasaran, saya tetap mengendarai motor sambil memperhatikan, tetapi memang
agak terhalang kendaraan lain. Tiba-tiba, si penyebrang hilang. Saya kaget. Tetapi,
saya pikir dia sudah lari menyebrang, biasanya begitu. Nyatanya, selang ada
kali lima detik dia keluar dari kolong mobil yang tengah berjalan melesat. Saya
lihat dia terguling-guling, saya langsung istighfar. Ternyata benar dia
ditabrak dan sekejap hilang karena masuk ke kolong mobil dan terseret selama
lima detik. Posisi si penyebrang memang tidak tahu kalau mau ditabrak, wong dia melihat ke arah berlawanan. Dia
pasti kaget sekali. Lebih kaget mungkin si pendendara. Masa sih dia tidak lihat
jelas-jelas saya yang di samping mobilnya saja bisa lihat ada penyebrang.
Pasalnya tidak ada juga suara yang timbul, “dug” dan sebagainya karena memang
ditabrak ketika mobil lagi berjalan pelan (padahal berjalan pelan, tetapi tidak
lihat si penyebrang, aneh) kemudian mobil tancap gas dan si penyebrang
terseret, tetapi mungkin si pengendara tidak langsung sadar. Orang-orang
berteriak, “tahan mobilnyaaa!!!” Si mobil minggir dan keluarlah seorang
perempuan alias si pendendara. Yang ditabraknya juga seorang perempuan, atau lebih
tepatnya seorang mahasiswi yang tengah menyebrang ke kampusnya. Kejadiannya memang
di depan sebuah kampus. Mahasiswi itu langsung digendong oleh satpamnya. Hal
pertama yang saya pikirkan, “kakinya
masih ada nggak, ya?” yaa ampun, takut sekali jika kelindas bahkan copot.
Soalnya kalau di cerita- cerita yang kebawa mobil atau terlindas sampai seram
sekali kisahnya.
Saya menyadari,
seturan ini sesuatu sekali. Jalan pintas, jalan memotong, jalan menuju kota,
jalan yang banyak kampusnya, banyak kafe, distro, hotel, bank dan sebagainya,
jalan yang meski sudah tahu macet tetap saja dilewati, jalan yang pernah
mengisahkan bahwa saya dua kali kecelakaan di sepanjang jalan ini.
Setelah melihat
kecelakaan tragis itu, besoknya saya nonton Pengabdi Setan dan ada adegan
kecelakaan yang hampir mirip dengan kecelakaan yang saya liat, yaitu sama-sama
masuk ke kolong mobil, cuma yang di film itu sampai mukanya kegasruk aspal
sampai udah rata kali sama aspal. Padahal weekend-nya
berencana ke Magelang. Film itu bikin opini tentang desa malah jadi menyeramkan
ketimbang tinggal di kota. Padahal desa lebih mendamaikan dibanding kota,
mungkin saking damainya sampai kadang-kadang emang agak mencekam. Memang ada
beberapa kondisi saya di Magelang yang mirip dengan di film, but it’s okay. Well, saya akhirnya jadi ke Magelang karena sudah sebulan tidak ke
sana. Memang target tahun ini juga sih, untuk lebih banyak membagi waktu untuk
orang-orang yang saya sayangi. Minimal sebulan sekali saya harus pulang, karena
saya juga tahu beberapa pekan ke depan jam terbang saya akan padat, hehe.
Intinya, jangan
lupa untuk berdo’a. mungkin kita sudah hati-hati, tetapi orang lain tidak
hati-hati. Untuk kamu yang mengkhawatirkan saya, quote ini buat kamu.
“Kalaupun dia punya waktu untuk
mengkhawatirkanku, dia hanya harus membiasakan diri kalau hidup berubah dan
terkadang terjadi hal-hal tertentu.” – Red Eye Film
Yap, meski
begitu, hidup seringkali berubah, sering melenceng, dan kita memang harus
selalu siap dengan hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar