11/10/17

[All About Life] : Cerita Hidup Orang



Yogyakarta mengenalkan saya pada berbagai cerita hidup orang. Bukan, bukan berarti kota lain tak memiliki makna, tetapi ketika saya menemukan “hal itu” saat tengah berada di Yogyakarta.

Pagi ini untuk kelima kalinya, lima hari berturut-turut, saya mendengar dari pengeras suara masjid, bahwa seseorang meninggal dunia. Di sini rajin ada yang meninggal dunia memang, tetapi baru kali ini secara lima hari berturut-turut saya mendengar dengan telinga saya sendiri. Saya jadi termakan mitos yang simbah katakan tempo hari. Simbah adalah orangtua berumur menjelang 80 tahunan yang menjadi orang yang memasakkan sarapan untuk kami di pagi hari. Kata simbah, berita kematian itu tak akan berhenti jika belum tujuh kali, dan hari ini adalah hari kelima sejak kemarin-kemarin yang dengan telinga saya sendiri menyimaknya bahwa ada yang meninggal dunia.

Sayangnya, pagi ini simbah tak datang masak sarapan untuk kami. Simbah sakit, lebih tepatnya beberapa bulan yang lalu jatuh dan tangannya diperban. Sekarang perbannya hendak dilepas.

Pagi ini, Setelah belok kanan melewati lampu merah perempatan, mata saya menemukan sepasang adik kakak berseragam, kakaknya SMA, adiknya SMP, mereka menggunakan seragam, berjalan kaki hendak pergi ke sekolah. Kelihatannya biasa saja, tetapi ternyata kakaknya buta, tangan kanannya menggenggam sebuah tongkat dan tangan kirinya berpegangan pada tas sang adik. Adiknya menuntunnya dengan jalan perlahan-lahan. Allah sungguh banyak mendatangkan kita cara-cara untuk lebih bersyukur kepada-Nya. Sapulah pandanganmu ke sekelilingmu, ada banyak sekali hal yang mengesankan, yang membuatmu akan terkesan dengan segala nikmat yang telah Allah beri kepadamu.

Pulang dari kampus, di jalan, seorang juru arah, maksudnya yang membantu pengendara di tikungan, terlihat mengejar-ngejar sesuatu. Ah, rupanya uang selembar seribu rupiah yang terbang usai diberikan oleh pengendara mobil yang telah dibantunya. Kadang, mungkin bagi kita diikhlaskan saja, toh hanya seribu rupiah. Tetapi, saya pernah membaca sebuah buku, bahwa bahkan uang seratus rupiahpun jangan pernah dianggap kecil. Bagaimana kita mau menghargai hal-hal besar, jika tak mulai dengan menghargai hal-hal kecil? Bahkan jika itu hanya uang seratus rupiah?

Kemudian, ah, lagi-lagi lewat jalan ini, jalan seturan. Beberapa hari yang lalu saya melihat kecelakaan di depan mata kepala saya. Saya shock.

Saya berada tepat di samping mobil yang menabrak seorang penyebrang, pejalan kaki. Jarak mobil dan penyebrang mungkin hanya satu langkah. Posisi penyebrang memang di tengah jalan karena dia menyebrang setengah-setengah dulu. Posisi berdirinya tepat di depan si pengemudi. Saya heran, kok si pengemudi mobil tidak mengklakson padahal ada orang di depan mobilnya dengan jarak yang sangat dekat. Karena penasaran, saya tetap mengendarai motor sambil memperhatikan, tetapi memang agak terhalang kendaraan lain. Tiba-tiba, si penyebrang hilang. Saya kaget. Tetapi, saya pikir dia sudah lari menyebrang, biasanya begitu. Nyatanya, selang ada kali lima detik dia keluar dari kolong mobil yang tengah berjalan melesat. Saya lihat dia terguling-guling, saya langsung istighfar. Ternyata benar dia ditabrak dan sekejap hilang karena masuk ke kolong mobil dan terseret selama lima detik. Posisi si penyebrang memang tidak tahu kalau mau ditabrak, wong dia melihat ke arah berlawanan. Dia pasti kaget sekali. Lebih kaget mungkin si pendendara. Masa sih dia tidak lihat jelas-jelas saya yang di samping mobilnya saja bisa lihat ada penyebrang. Pasalnya tidak ada juga suara yang timbul, “dug” dan sebagainya karena memang ditabrak ketika mobil lagi berjalan pelan (padahal berjalan pelan, tetapi tidak lihat si penyebrang, aneh) kemudian mobil tancap gas dan si penyebrang terseret, tetapi mungkin si pengendara tidak langsung sadar. Orang-orang berteriak, “tahan mobilnyaaa!!!” Si mobil minggir dan keluarlah seorang perempuan alias si pendendara. Yang ditabraknya juga seorang perempuan, atau lebih tepatnya seorang mahasiswi yang tengah menyebrang ke kampusnya. Kejadiannya memang di depan sebuah kampus. Mahasiswi itu langsung digendong oleh satpamnya. Hal pertama yang saya pikirkan, “kakinya masih ada nggak, ya?” yaa ampun, takut sekali jika kelindas bahkan copot. Soalnya kalau di cerita- cerita yang kebawa mobil atau terlindas sampai seram sekali kisahnya.

Saya menyadari, seturan ini sesuatu sekali. Jalan pintas, jalan memotong, jalan menuju kota, jalan yang banyak kampusnya, banyak kafe, distro, hotel, bank dan sebagainya, jalan yang meski sudah tahu macet tetap saja dilewati, jalan yang pernah mengisahkan bahwa saya dua kali kecelakaan di sepanjang jalan ini.


Setelah melihat kecelakaan tragis itu, besoknya saya nonton Pengabdi Setan dan ada adegan kecelakaan yang hampir mirip dengan kecelakaan yang saya liat, yaitu sama-sama masuk ke kolong mobil, cuma yang di film itu sampai mukanya kegasruk aspal sampai udah rata kali sama aspal. Padahal weekend-nya berencana ke Magelang. Film itu bikin opini tentang desa malah jadi menyeramkan ketimbang tinggal di kota. Padahal desa lebih mendamaikan dibanding kota, mungkin saking damainya sampai kadang-kadang emang agak mencekam. Memang ada beberapa kondisi saya di Magelang yang mirip dengan di film, but it’s okay. Well, saya akhirnya jadi ke Magelang karena sudah sebulan tidak ke sana. Memang target tahun ini juga sih, untuk lebih banyak membagi waktu untuk orang-orang yang saya sayangi. Minimal sebulan sekali saya harus pulang, karena saya juga tahu beberapa pekan ke depan jam terbang saya akan padat, hehe.

Intinya, jangan lupa untuk berdo’a. mungkin kita sudah hati-hati, tetapi orang lain tidak hati-hati. Untuk kamu yang mengkhawatirkan saya, quote ini buat kamu.



“Kalaupun dia punya waktu untuk mengkhawatirkanku, dia hanya harus membiasakan diri kalau hidup berubah dan terkadang terjadi hal-hal tertentu.” – Red Eye Film

Yap, meski begitu, hidup seringkali berubah, sering melenceng, dan kita memang harus selalu siap dengan hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar