Gerimis
turun tanpa kuduga, aku mempercepat langkah kakiku menuju ke arah rumahnya yang berada di ujung lorong.
Rumah pria yang berbeda satu tahun lebih muda dariku. Pria yang kukenal baik
hati.
Begitu
aku sampai di depan rumahnya, gerimis di langit berubah menjadi butiran-butiran
yang meluncur dengan deras dan cepat, hujan. Aku mengetuk berulang kali pintu
rumahnya. Suara ketukanku di pintu rumahnya tenggelam karena riuhnya suara air
hujan. Namun tak berapa lama aku lega, dia sudah membukakan pintunya.
“Oh,
ada mbak Sandra..” belum sempat aku membalas ucapannya, dia menatap langit di
luar, “Hujannya deras..” dan ia kembali masuk ke dalam rumahnya, membiarkan aku
keheranan di depan pintu rumahnya. Tak lama ia kembali dengan sebuah payung di
tangannya.
“Pake
payung ini, mbak. Nanti kembalikan, ya.” Mungkin dia berpikir aku ke sini untuk
meminjam payungnya, padahal bukan itu.
“Eh,
anu Roni, mbak mau minta daun kunyitnya, bisa ? Tanamannya di sebelah mana ?”
tanyaku dengan suara agak dikeraskan sebab langit masih bergemuruh bersama
hujan.
“Oh,
itu mbak. Yang di depan itu tanaman kunyit semuanya. Tunggu, aku ambilkan.” Katanya
sambil membuka payungnya dan menerobos hujan. Ia memetik beberapa daun kunyit
untukku.
“Ini.”
Serahnya.
“Lagi
ya, yang kecil di sana.” Pintaku, dan dia mengambilkannya lagi.
“Ini,
mbak.” Serahnya lagi dengan senyuman di bibirnya. Aku suka melihat wajahnya,
wajah yang ramah dan penuh senyuman.
“Ya
sudah, mbak pulang dulu, ya. Makasih banyak.”
“Sama-sama.”
Aku mencoba menerobos hujan dengan payung pinjamannya. Tetapi pria itu
memanggilku.
“Ada
apa ?” tanyaku.
“Hati-hati,
ya.” Katanya. Ah, pria yang perhatian. Rasanya sudah lama tak ada yang
memperhatikanku seperti ini.
“Oke.
Jangan sok perhatian seperti itu.” Kataku dengan tawa, diikuti tawanya juga.
Aku
dengannya tak terlalu akrab, kami hanya berteman, dan hanya sesekali bertemu
meskipun rumah kami tak berjauhan. Mengapa ia begitu perhatian ? Ya, dia memang
sosok yang perhatian. Mirip dengan ibunya. Gadis yang mendapatkannya sangat
beruntung.
Pernah
suatu ketika aku ketakutan, aku tak tahu bagaimana caraku pulang, sementara
malam semakin larut. Lampu-lampu jalanan padam dan anjing liar berkeliaran. Lalu
tiba-tiba pria itu muncul dan menemaniku sampai di rumah. Mengapa kau begitu
luarbiasa ? hadir tanpa diminta.
Suatu
malam ketika semua orang beramai-ramai makan, aku tak ingat malam itu kami
makan apa, yang jelas di dalam menu itu ada udang. Aku sangat suka udang,
tetapi aku kehabisan udang. Pria itu melihatku, dan berkata, “Mbak suka udang ?
ambil aja udangku, enggak apa-apa kok.” Begitu katanya. Aku terkejut dan tanpa
menjawab, ia langsung memindahkan udang di piringnya ke piringku.
Yang
paling tak pernah bisa kulupa adalah ketika aku, Rania, Sonya, Joshua, dan Roni
pergi ke sebuah restoran. Kami membuat party kecil-kecilan karena Rania ultah. Di
restoran itu kami semua sama-sama memesan nasi goreng seafood, dan beraneka
macam jus. Aku, Rania, dan Sonya benar-benar kekenyangan, sementara makanan
kami belum habis. Piring Joshua dan Roni sudah bersih sejak tadi. Mereka berdua
melirikku.
“Mbak,
itu enggak dihabisin nasinya ?” Tanya Joshua. Aku mengangguk.
“Kalau
gitu, sini mbak, aku habisin aja.” Kata si Roni.
“Aku
duluan tadi yang ngomong.” Ujar Joshua.
“Ya
udah, barengan aja.” Sahut Roni.
Aku
kira mereka bercanda, tidak mungkin mereka mau makan sisa makanannya orang
lain. Tetapi, keduanya langsung meraih sendok dan garpu maing-masing, dan
mereka melahap habis sisa nasi di piringku. Dua bocah yang konyol.
Terimakasih
Tuhan, aku benar-benar bahagia bisa bertemu dan berteman dengan pria sebaik
dirinya. Kelak aku butuh pria seperti itu untuk mendampingi hidupku.