02/02/13

Mengalah, Bukan Kalah. ( III )




Bayangannya tak pernah lepas dari ingatanku. Wajahnya, suaranya, tawanya, benar-benar merindukan. Maha Besar Tuhan menciptakannya. Wanita sederhana yang benar-benar istimewa dengan segala keluarbiasaannya.
Selama aku berada di Paris, aku terus memikirkannya, dan mencoba mencari wanita seperti dia di Paris, tetapi ternyata ini bukan hal yang mudah. Akhirnya aku sadar, dia hanya satu, dia hanya dia. Meskipun aku betekad melupakannya, dia tak pernah bisa terlupakan. Sekarang, aku baru percaya dengan pepatah yang mengatakan ‘semakin kau ingin melupakannya, semakin sering pula ia memenuhi ruang di pikiranmu.’
Gadis sederhana ini membuatku gila. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kukatakan jika suatu hari nanti aku dipertemukan kembali dengannya.
Tuhan Maha Besar dengan segala takdir yang Ia ciptakan. Aku betemu dengan gadis itu lebih cepat dari yang aku kira. Lagi-lagi waktunya tak tepat. Aku merasa terluka begitu ada pria lain di samping gadis itu.
Pria itu tak lain adalah adikku sendiri. Gadis itu membuatku tambah ingin hilang ingatan. Bagaimana mungkin, gadis yang kusayangi harus berada dalam gandengan pria lain.
Aku berusaha setenang mungkin. Ada gejolak emosi di dadaku. Gadis itu tersenyum manis pada adikku, dan adikku berhasil membuatnya tertawa lepas.
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi selama aku berada di Paris. Apa adikku juga mencintai gadis itu? Sungguh, apa memang benar begitu?
Malam itu kami betiga makan malam bersama di sebuah kedai. Seusai makan malam, kami menuju toko buku. Angga sudah sibuk dengan berbagai macam buku yang menarik perhatiannya, sementara aku tak bisa berhenti memperhatikan gadis itu dengan diam-diam. Pandanganku teralih dari gadis itu ketika sebuah buku berhasil menarik perhatianku.
Namun di luar dugaanku, ada orang lain yang lebih dahulu menyentuh buku itu. Jemariku tak sengaja bertumpuk dengan jermarinya. Aku memandang orang itu. Nafasku seperti terhenti. Jemari yang tak sengaja kusentuh itu adalah jemari gadis itu, dan ketika gadis itu balik menatapku, rasanya ada yang aneh dengan hatiku.
Lagi dan lagi gadis itu membuatku jatuh ke dalam pesonanya. Bagaimana perasaan ini harus kuartikan?
“Maaf.” Ucapku pada gadis bermata indah itu. Dia hanya diam seribu bahasa. Mungkin ia sangat terkejut melihatku.

***

Namanya Mentari, seorang gadis yang sederhana dan mandiri. Gadis itu perlahan-lahan dapat mewujudkan mimpi-mimpinya. Mimpi-mimpi yang dahulu sering ia ceritakan padaku.
Siang ini aku bertemu lagi dengannya. Sebuah pertemuan yang tidak disengaja. Aku bertemu dengannya di sebuah minimarket. Sepulang dari minimarket itu, aku mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Kami bercerita lagi soal mimpi.
“Apa lagi mimpi yang sudah berhasil lo wujudkan?” tanyaku sambil terus memperhatikan setiap detail ekspresi yang terlukis dalam wajahnya.
“Tiap hari gue selalu bermimpi bisa ketemu lo lagi dan duduk sambil bercerita-cerita seperti ini. Mimpi itu sekarang terwujud.” Gadis itu berusaha menahan senyumannya, tetapi kilatan di matanya tak bisa membohongiku bahwa ia bahagia.
Kebersamaan di siang itu, membawa cinta lama kami bersemi kembali. Ikatan yang sempat terputus itu, akhirnya terajut kembali.
“Besok gue harap lo bisa nemenin gue main basket di lapangan biasa, lapangan ujung kompleks.” Kataku. Dia tertawa lebar, seraya berkata, “Oke Bos!” (;Ardan)
TO BE CONTINUE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar