“Baiklah,
saya akhiri rapat kita hari ini. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan
baik.” Ujar Bastian, si pemimpin rapat. Diam-diam April memperhatikan pria
tersebut, pria yang paling istimewa di matanya. Pria yang juga menjadi seniornya
di kampus. April tak pernah tahu mengapa seniornya itu begitu menarik
perhatiannya. April suka dengan gaya pemimpin yang dilakukan oleh seniornya
itu, wajar bila ia begitu tertarik. Tetapi, April tak pernah punya kesempatan
untuk berbicara dan bertemu dengan
seniornya itu kecuali saat ada pertemuan forum.
Malam
ini April berencana akan menemui Bastian, seniornya. Dengan sebuket bunga di
tangannya, April siap memberi ucapan selamat kepada seniornya itu atas
keberhasilannya mewujudkan segala program kerja.
Dengan
langkah penuh semangat ia menelusuri lorong demi lorong hingga langkahnya
berhenti pada sebuah bangunan berlantai dua yang sepi. Ia bersiap mengucap
salam, tetapi ia mengurungkan niatnya ketika ia mendengar ada orang lain yang
sedang bersama dengan Bastian. Ia berdiri terdiam sambil memasang kedua
telinganya.
“Honey, bagaimana kuliahmu ?
Lancar-lancar saja ?”
“Iya,
akan lebih lancar bila ada kamu yang menemaniku. Tetapi itu tidak mungkin, ini
sangat rumit. Mereka akan menjauh dariku jika sampai mengetahuinya.”
“Jangan
salahkan dirimu seperti itu. Ini jalan hidup kita yang sudah Tuhan pilihkan.”
“Jadi,
menurutmu kita tidak salah?” April tak bisa mendengar jawaban lawan bicara
Bastian. April berusaha mengintip, ia masih saja belum mengerti dengan
percakapan yang baru saja ia dengar. Pria yang menjadi lawan bicara Bastian
hanya mengangguk tanpa bersuara.
“Malam
ini jadi pesan kamar, kan?” Tanya lawan bicara Bastian. Bastian hanya
mengangguk.
April
menelan ludah, ia masih tak percaya dengan apa yang kedua telinganya baru saja
dengar. Sekali lagi, ia berusaha mengintip. Sekarang ia lebih terkejut, kedua
pria itu bertatap muka dengan raut mesra, sangat dekat, dekat, dan dekat.
April
berlari secepat mungkin menjauh dari rumah itu. Ia berlari dengan sesak di
dadanya. Tak lama, ia berhenti, lalu mengatur nafasnya sambil memandang langit.
Tak ia temukan satu bintangpun di sana.
“Tuhan,
aku telah salah jatuh cinta.” Ucapnya lirih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar