02/02/13

Mengalah, Bukan Kalah. ( II )




Sejak pertama kali melihatnya, aku penasaran ingin tahu siapa namanya. Tetapi, aku belum punya cukup keberanian untuk itu. Tanpa kuduga, suatu siang dia memanggilku. Aku mencoba memasang muka ramah dan tenang. Padahal aku terkejut setengah mati.
Dia memilihku untuk menjadi narasumber dalam tugas wawancaranya. Sebenarnya aku sudah tahu, dia berbohong soal wawancara itu. Ini pasti hanya modus belaka. Rasa penasaranku yang besar membuatku menerima tawarannya sebagai narasumber.
Aku juga terkejut saat ia menyebutkan namanya. Namanya tidak berbeda jauh dengan nama cinta pertamaku dahulu saat di bangku SMA. Bahkan wajah mereka berdua juga mirip.
Seiring berjalannya waktu, entah mengapa aku jadi lebih dekat dengannya. Belakangan aku baru menyadari ternyata dia lebih muda dua tahun dariku.
Namanya Angga. Kami sering bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Terkadang juga saling membagi ilmu satu sama lain. Angga adalah cowok pintar yang tidak membosankan. Dia juga tergila-gila dengan novel.
Suatu siang ketika kami berdua pergi ke toko buku, Angga buru-buru ingin ke toilet. Ia menitipkan ponsel dan tasnya padaku. Setelah ia pergi, ponselnya berbunyi. Nafasku serasa berhenti saat membaca layar ponselnya, ada telepon dari nama kontak “Bang Ardan”. Aku putuskan untuk menjawab ponselnya.
“Hallo?” kataku dengan ragu.
“Ya, Angga ini Bang Ardan, gue minggu depan balik ke Jakarta..”
“Maaf, ini bukan Angga.”
“Loh, ini siapa?” tanyanya. Dia tak mengenali suaraku.
Aku hanya terdiam sampai ia kembali bersuara.
“Yaudah, siapapun elo, tolong bilang ke Angga kalau abangnya barusan nelpon.” Deg. Aku sangat kenal dengan suaranya.
“Riri? Kok ngelamun?” Suara Angga membuyarkanku.
“Nih, tadi abang lo nelpon.”
“Oh, pasti dia minta dijemput di bandara.”
“Emangnya dia darimana?”
“Dia kuliah di Paris. Minggu depan balik ke Indonesia untuk liburan.”
Perasaan lama itu tiba-tiba muncul kembali. Membludak menjadi sekumpulan rindu yang melangkah tak menentu. Tiba-tiba ingatan-ingatan itu hadir kembali. Apa harus kali ini cinta itu datang lagi ?

***

“Angga kita mau kemana? Ini bukan arah ke toko buku.”
“Maaf, Ri. Gue lupa, kita jemput abang gue dulu, yah.” Deg. Jemput abangnya ? Kenapa tidak bicara dari tadi ?
“Yang Ardan itu?”
“Yaiyalah, abang gue cuma satu.”
“Abang lo itu mirip banget sama lo, ya?”
“Enggak. Abang gue itu cuek. Gue penuh perhatian.” Katanya dengan gelak tawa disertai dengan tawaku.
Entah mengapa perasaanku begitu gelisah selama perjalanan.
“Kok diam aja?”
“Enggak kenapa-kenapa.” Jawabku begitu ia heran dengan diamku.
Tidak mungkin aku jujur padanya soal ini. Kami sama-sama saling terdiam hingga mobil Angga memasuki area parkir mobil. Angga menggandeng tanganku, sementara mataku tetap was-was.
“Woy!” aku dan Angga sama-sama terkejut begitu seseorang menyeru lantang dari arah belakang. Angga segera menoleh, sementara aku belum siap untuk menoleh.
Begitu keduanya saling bertatap muka, mereka berpelukan.
“Wah parah, tinggi kita sama!” seru abangnya Angga.
“Tahun depan, gue yang lebih tinggi!” ujar Angga tak mau kalah. “Bang, kenalin, ini Mentari. Dia yang pernah jawab telepon lu seminggu yang lalu.”
“Ardani Risky. Panggil aja Ardan.” Dia mengulurkan tangannya seraya menyebut namanya.
“Mentari.” Balasku sambil menjabat tangannya.
Matanya menatap lurus ke arahku.
“Ini gebetan lo, ya?” Tanya Ardan pada adiknya. Angga hanya menanggapinya dengan tawa.
Sekarang kami bertiga sudah berada dalam satu mobil. Angga mengarahkan mobilnya ke sebuah Plaza.
“Kita makan dulu, ya.” Kata Angga. Aku hanya mengangguk, sementara Ardan terlihat tak peduli.
Ardan masih seperti dulu, selalu terlihat cuek tetapi entah pesonanya yang mana yang membuatku pernah jatuh dalam jeratan cintanya.
Aku berjalan berdampingan di depan bersama Angga. Sementara Ardan dengan tak peduli berjalan sendirian di belakangku dan Angga.
Kami bertiga sudah sampai di sebuah kedai bernuansa modern. Tiba-tiba Angga pamit untuk ke toilet. Jadilah, aku duduk ditemani Ardan.
“Jadi, lo suka sama adek gue?” aku terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulut Ardan.
“Enggak, gue nunggu seseorang yang pulang dari Paris.”
“Maksud lo?” Ardan pura-pura tidak mengerti dengan raut wajah menahan senyum. Aku tersenyum menatapnya.
“Lo enggak ngerti atau pura-pura nggak ngerti?” seketika tawa kami berdua meledak bersamaan dengan kedatangan Angga dari toilet.
“Baru juga ditinggal sebentar, udah akrab begini.” Ceplos Angga.
Ardan hanya terdiam. Begitu pula aku.
Usai makan, kami bertiga masuk ke dalam toko buku.
“Ri, novel yang ini menurut lu gimana?” Angga memperlihatkan sebuah novel.
“Novelnya kelihatan oke, tuh.” Jawabku.
“Yaudah, kalau suka, gue beli ini buat elo.” Ujar Angga. Aku dan Ardan saling berpandangan. Ya Tuhan, tatapannya. Tiba-tiba Ardan berdeham. Aku tersadar. Ardan pernah memberiku novel yang serupa dengan yang ada dalam genggaman Angga sekarang.
“Eh, enggak usah. Gue enggak terlalu tertarik.” Kataku dengan bohong. Jujur, novel itu adalah novel kesukaanku, apa lagi Ardan yang memberikan novel itu khusus untukku dahulu ketika kami masih berada di bangku SMA. Aku tak mungkin menerima pemberian Angga tersebut.
Angga berjalan jauh di depan, menelusuri satu demi satu rak buku. Aku berjalan di bagian novel remaja, dan entah dimana posisinya Ardan, aku tak terlalu peduli.
Sebuah novel menarik hatiku. Dengan cepat kuraih novel itu, dan deg!
Ada jemari-jemari lain yang betumpuk dengan jemariku. Ada orang lain yang tertarik juga dengan novel itu. Seketika aku menoleh pada si pemilik jemari-jemari yang kekar itu. Lagi-lagi nafasku terhenti. Deg! Pria paling tangguh yang pernah kukenal itu kini berjarak tak jauh dari tempatku berdiri. Mata kami sama-sama terkejut. Begitu ia menyadari jemarinya yang betumpuk dengan jemariku, ia segera menariknya.
Aku merindukan sosoknya. Sorot mata yang penuh ambisi, hidung yang begitu mancung, mulut yang jarang tersenyum, wajah datarnya, dan telinganya yang begitu tajam. Aku merindukannya. (;Mentari)
TO BE CONTINUE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar