Sejak
pertama kali melihatnya, aku penasaran ingin tahu siapa namanya. Tetapi, aku
belum punya cukup keberanian untuk itu. Tanpa kuduga, suatu siang dia
memanggilku. Aku mencoba memasang muka ramah dan tenang. Padahal aku terkejut
setengah mati.
Dia
memilihku untuk menjadi narasumber dalam tugas wawancaranya. Sebenarnya aku
sudah tahu, dia berbohong soal wawancara itu. Ini pasti hanya modus belaka.
Rasa penasaranku yang besar membuatku menerima tawarannya sebagai narasumber.
Aku
juga terkejut saat ia menyebutkan namanya. Namanya tidak berbeda jauh dengan
nama cinta pertamaku dahulu saat di bangku SMA. Bahkan wajah mereka berdua juga
mirip.
Seiring
berjalannya waktu, entah mengapa aku jadi lebih dekat dengannya. Belakangan aku
baru menyadari ternyata dia lebih muda dua tahun dariku.
Namanya
Angga. Kami sering bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Terkadang
juga saling membagi ilmu satu sama lain. Angga adalah cowok pintar yang tidak
membosankan. Dia juga tergila-gila dengan novel.
Suatu
siang ketika kami berdua pergi ke toko buku, Angga buru-buru ingin ke toilet.
Ia menitipkan ponsel dan tasnya padaku. Setelah ia pergi, ponselnya berbunyi.
Nafasku serasa berhenti saat membaca layar ponselnya, ada telepon dari nama
kontak “Bang Ardan”. Aku putuskan untuk menjawab ponselnya.
“Hallo?”
kataku dengan ragu.
“Ya,
Angga ini Bang Ardan, gue minggu depan balik ke Jakarta..”
“Maaf,
ini bukan Angga.”
“Loh,
ini siapa?” tanyanya. Dia tak mengenali suaraku.
Aku
hanya terdiam sampai ia kembali bersuara.
“Yaudah,
siapapun elo, tolong bilang ke Angga kalau abangnya barusan nelpon.” Deg. Aku
sangat kenal dengan suaranya.
“Riri?
Kok ngelamun?” Suara Angga membuyarkanku.
“Nih,
tadi abang lo nelpon.”
“Oh,
pasti dia minta dijemput di bandara.”
“Emangnya
dia darimana?”
“Dia
kuliah di Paris. Minggu depan balik ke Indonesia untuk liburan.”
Perasaan
lama itu tiba-tiba muncul kembali. Membludak menjadi sekumpulan rindu yang
melangkah tak menentu. Tiba-tiba ingatan-ingatan itu hadir kembali. Apa harus
kali ini cinta itu datang lagi ?
***
“Angga
kita mau kemana? Ini bukan arah ke toko buku.”
“Maaf,
Ri. Gue lupa, kita jemput abang gue dulu, yah.” Deg. Jemput abangnya ? Kenapa
tidak bicara dari tadi ?
“Yang
Ardan itu?”
“Yaiyalah,
abang gue cuma satu.”
“Abang
lo itu mirip banget sama lo, ya?”
“Enggak.
Abang gue itu cuek. Gue penuh perhatian.” Katanya dengan gelak tawa disertai
dengan tawaku.
Entah
mengapa perasaanku begitu gelisah selama perjalanan.
“Kok
diam aja?”
“Enggak
kenapa-kenapa.” Jawabku begitu ia heran dengan diamku.
Tidak
mungkin aku jujur padanya soal ini. Kami sama-sama saling terdiam hingga mobil
Angga memasuki area parkir mobil. Angga menggandeng tanganku, sementara mataku
tetap was-was.
“Woy!”
aku dan Angga sama-sama terkejut begitu seseorang menyeru lantang dari arah
belakang. Angga segera menoleh, sementara aku belum siap untuk menoleh.
Begitu
keduanya saling bertatap muka, mereka berpelukan.
“Wah
parah, tinggi kita sama!” seru abangnya Angga.
“Tahun
depan, gue yang lebih tinggi!” ujar Angga tak mau kalah. “Bang, kenalin, ini
Mentari. Dia yang pernah jawab telepon lu seminggu yang lalu.”
“Ardani
Risky. Panggil aja Ardan.” Dia mengulurkan tangannya seraya menyebut namanya.
“Mentari.”
Balasku sambil menjabat tangannya.
Matanya
menatap lurus ke arahku.
“Ini
gebetan lo, ya?” Tanya Ardan pada adiknya. Angga hanya menanggapinya dengan
tawa.
Sekarang
kami bertiga sudah berada dalam satu mobil. Angga mengarahkan mobilnya ke
sebuah Plaza.
“Kita
makan dulu, ya.” Kata Angga. Aku hanya mengangguk, sementara Ardan terlihat tak
peduli.
Ardan
masih seperti dulu, selalu terlihat cuek tetapi entah pesonanya yang mana yang
membuatku pernah jatuh dalam jeratan cintanya.
Aku
berjalan berdampingan di depan bersama Angga. Sementara Ardan dengan tak peduli
berjalan sendirian di belakangku dan Angga.
Kami
bertiga sudah sampai di sebuah kedai bernuansa modern. Tiba-tiba Angga pamit
untuk ke toilet. Jadilah, aku duduk ditemani Ardan.
“Jadi,
lo suka sama adek gue?” aku terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba keluar
dari mulut Ardan.
“Enggak,
gue nunggu seseorang yang pulang dari Paris.”
“Maksud
lo?” Ardan pura-pura tidak mengerti dengan raut wajah menahan senyum. Aku
tersenyum menatapnya.
“Lo
enggak ngerti atau pura-pura nggak ngerti?” seketika tawa kami berdua meledak
bersamaan dengan kedatangan Angga dari toilet.
“Baru
juga ditinggal sebentar, udah akrab begini.” Ceplos Angga.
Ardan
hanya terdiam. Begitu pula aku.
Usai
makan, kami bertiga masuk ke dalam toko buku.
“Ri,
novel yang ini menurut lu gimana?” Angga memperlihatkan sebuah novel.
“Novelnya
kelihatan oke, tuh.” Jawabku.
“Yaudah,
kalau suka, gue beli ini buat elo.” Ujar Angga. Aku dan Ardan saling
berpandangan. Ya Tuhan, tatapannya. Tiba-tiba Ardan berdeham. Aku tersadar.
Ardan pernah memberiku novel yang serupa dengan yang ada dalam genggaman Angga
sekarang.
“Eh,
enggak usah. Gue enggak terlalu tertarik.” Kataku dengan bohong. Jujur, novel
itu adalah novel kesukaanku, apa lagi Ardan yang memberikan novel itu khusus
untukku dahulu ketika kami masih berada di bangku SMA. Aku tak mungkin menerima
pemberian Angga tersebut.
Angga
berjalan jauh di depan, menelusuri satu demi satu rak buku. Aku berjalan di
bagian novel remaja, dan entah dimana posisinya Ardan, aku tak terlalu peduli.
Sebuah
novel menarik hatiku. Dengan cepat kuraih novel itu, dan deg!
Ada
jemari-jemari lain yang betumpuk dengan jemariku. Ada orang lain yang tertarik
juga dengan novel itu. Seketika aku menoleh pada si pemilik jemari-jemari yang
kekar itu. Lagi-lagi nafasku terhenti. Deg! Pria paling tangguh yang pernah
kukenal itu kini berjarak tak jauh dari tempatku berdiri. Mata kami sama-sama
terkejut. Begitu ia menyadari jemarinya yang betumpuk dengan jemariku, ia
segera menariknya.
Aku
merindukan sosoknya. Sorot mata yang penuh ambisi, hidung yang begitu mancung,
mulut yang jarang tersenyum, wajah datarnya, dan telinganya yang begitu tajam.
Aku merindukannya. (;Mentari)
TO BE CONTINUE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar