Dia,
senyumannya, tawanya, matanya, semuanya masih terekam jelas di pikiranku. Ya,
ada satu ruang dalam pikiranku yang entah harus kunamai apa. Aku membangun
sebuah ruang di pikiranku, ruang yang berisi tentangnya, segala hal tentangnya,
yang akupun tak tahu kapan kiranya aku harus mendelete semua memori tentangnya
dari pikiranku. Rasanya tak pernah bisa, entah tak pernah bisa atau belum bisa.
Aku
sempat rapuh, terhempas. Sempat ingin melawan takdir. Tetapi aku sadar, aku tak
sekuat itu.
Aku
menemuinya. Ia selalu terlihat asyik dengan segala buku-buku sastranya. Kau
tahu apa yang membuatnya terlihat begitu istimewa di mataku ? Tutur-tuturannya
yang selalu menakjubkan. Ia terlihat berbeda dengan pria lainnya.
“Rian..”
Panggilku. Dia menoleh, dan tersenyum saat matanya berhasil menemukanku.
“Ada
apa, Pelangi?” tanyanya.
“Enggak
ada apa-apa.”
“Enggak
mungkin enggak ada apa-apa kalau kamu datang ke sini menghampiriku.”
“Memangnya
kau kira ada apa?”
“Ada
rindu.” Aku tertawa kecil saat mendengar jawabannya.
“Rian,
apa bedanya takdir dengan nasib?”
“Dua
hal yang hampir sama..”
“Lalu
perbedaannya apa?”
“Takdir
tidak bisa diubah tetapi nasib bisa kita tentukan sendiri. Kenapa bertanya
begitu?” Aku hanya menggelengkan kepala.
Aku
seperti diliputi kecemasan. Seperti akan kehilangan sesuatu. Aku hanya duduk
menatapnya sambil menahan kecemasanku.
“Kau
memikirkan apa? Kau terlihat cemas.” Perkataannya membuat mulutku terkunci. Aku
hanya menggelengkan kepalaku.
“Kalau
suatu saat nanti aku rindu padamu, bolehkah kukatakan padamu?” akhirnya mulutku
terbuka, dan mengatakan sebuah pertanyaan yang konyol.
“Boleh,
terserah saja.” Jawabnya singkat.
“Aku
rindu padamu.” Ungkapku sambil terus memperhatikan gerak matanya. Dia
memandangku dan tersenyum.
“Pelangi,
aku harus pergi sekarang. Apa kau tahu ? Hari ini aku harus meliput berita. Aku
janji akan segera menemuimu saat aku pulang nanti. Sampai jumpa.”
Dia
melangkah pergi, dan tanpa kusadari jemariku menahan langkahnya.
“Ada
apa?” dia berbalik. Aku langsung menggelengkan kepala. “Oh, iya, kalau nanti
kau rindu, bilang saja padaku. Telepon, SMS, BM, terserah.”
“kenapa
aku harus memberitahumu jika aku rindu?”
“Agar
aku bisa langsung berlari menemuimu.”
Dia
membelai rambutku, lalu melangkah pergi. Perasaan cemas itu semakin berkecamuk,
dan setengah jam kemudian kabar itu menghampiriku.
***
“Selamat
ulang tahun yang ke-22, Rian. Sama seperti tahun yang lalu, aku datang tanpa
membawa kue dan lilin. Hanya mawar yang kubawa, serta doa yang tak pernah lupa
kupanjatkan pada Tuhan untukmu.” Ucapku.
Angin
sore yang bertiup kencang seketika membuat hawa dingin merasuk ke dalam
tubuhku. Aku merasa ada setitik air mata di sudut mataku. Langit sore yang
mendung itu menemaniku yang terduduk diam di samping pusara Rian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar