01/02/13

FIRASAT




Dia, senyumannya, tawanya, matanya, semuanya masih terekam jelas di pikiranku. Ya, ada satu ruang dalam pikiranku yang entah harus kunamai apa. Aku membangun sebuah ruang di pikiranku, ruang yang berisi tentangnya, segala hal tentangnya, yang akupun tak tahu kapan kiranya aku harus mendelete semua memori tentangnya dari pikiranku. Rasanya tak pernah bisa, entah tak pernah bisa atau belum bisa.
Aku sempat rapuh, terhempas. Sempat ingin melawan takdir. Tetapi aku sadar, aku tak sekuat itu.
Aku menemuinya. Ia selalu terlihat asyik dengan segala buku-buku sastranya. Kau tahu apa yang membuatnya terlihat begitu istimewa di mataku ? Tutur-tuturannya yang selalu menakjubkan. Ia terlihat berbeda dengan pria lainnya.
“Rian..” Panggilku. Dia menoleh, dan tersenyum saat matanya berhasil menemukanku.
“Ada apa, Pelangi?” tanyanya.
“Enggak ada apa-apa.”
“Enggak mungkin enggak ada apa-apa kalau kamu datang ke sini menghampiriku.”
“Memangnya kau kira ada apa?”
“Ada rindu.” Aku tertawa kecil saat mendengar jawabannya.
“Rian, apa bedanya takdir dengan nasib?”
“Dua hal yang hampir sama..”
“Lalu perbedaannya apa?”
“Takdir tidak bisa diubah tetapi nasib bisa kita tentukan sendiri. Kenapa bertanya begitu?” Aku hanya menggelengkan kepala.
Aku seperti diliputi kecemasan. Seperti akan kehilangan sesuatu. Aku hanya duduk menatapnya sambil menahan kecemasanku.
“Kau memikirkan apa? Kau terlihat cemas.” Perkataannya membuat mulutku terkunci. Aku hanya menggelengkan kepalaku.
“Kalau suatu saat nanti aku rindu padamu, bolehkah kukatakan padamu?” akhirnya mulutku terbuka, dan mengatakan sebuah pertanyaan yang konyol.
“Boleh, terserah saja.” Jawabnya singkat.
“Aku rindu padamu.” Ungkapku sambil terus memperhatikan gerak matanya. Dia memandangku dan tersenyum.
“Pelangi, aku harus pergi sekarang. Apa kau tahu ? Hari ini aku harus meliput berita. Aku janji akan segera menemuimu saat aku pulang nanti. Sampai jumpa.”
Dia melangkah pergi, dan tanpa kusadari jemariku menahan langkahnya.
“Ada apa?” dia berbalik. Aku langsung menggelengkan kepala. “Oh, iya, kalau nanti kau rindu, bilang saja padaku. Telepon, SMS, BM, terserah.”
“kenapa aku harus memberitahumu jika aku rindu?”
“Agar aku bisa langsung berlari menemuimu.”
Dia membelai rambutku, lalu melangkah pergi. Perasaan cemas itu semakin berkecamuk, dan setengah jam kemudian kabar itu menghampiriku.

***

“Selamat ulang tahun yang ke-22, Rian. Sama seperti tahun yang lalu, aku datang tanpa membawa kue dan lilin. Hanya mawar yang kubawa, serta doa yang tak pernah lupa kupanjatkan pada Tuhan untukmu.” Ucapku.
Angin sore yang bertiup kencang seketika membuat hawa dingin merasuk ke dalam tubuhku. Aku merasa ada setitik air mata di sudut mataku. Langit sore yang mendung itu menemaniku yang terduduk diam di samping pusara Rian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar