Saya menulis
tulisan ini diiringi nafas yang memburu dan pikiran yang menembus masa yang
jauh. Mendengar soal kabar seorang teman menikah, sepertinya hal itu makin menjadi
buah bibir yang biasa saja didengar oleh kedua telinga saya. Tetapi, beberapa
hari yang lalu, bukan teman biasa yang akan menikah. Teman ini adalah teman
dekat saya, teman seperjuangan saya, teman yang dengannya dulu saya selalu
berbagi cerita tentang hal gila atau apapunnya, meski setelah lulus sekolah
kami masih sempat kontekan tetapi ia tak menceritakan detail tentang kehidupannya
yang sekarang ini. Teman yang lain bercerita bahwa teman saya yang satu ini
merubah penampilannya dengan hijab besar atau biasa yang disebut-sebut cadar,
dan belum lama ini ia telah dilamar oleh teman sekolah dasarnya.
Kemudian cek cek
timeline, muncul foto sebuah geng yang hitz luar biasa di sekolah jaman SMA
dulu. Tetapi, ada satu anggotanya yang berbeda. Ya, salah satu dari mereka kini
menggunakan cadar. Sebagai seseorang yang menjadi saksi hidup seseorang lainnya
di masa lalu, bukankah membuat merinding ketika melihatnya kini menjadi sosok
yang berbeda?
Jikalau sebuah
niat mampu dilihat oleh mata, dan kita ketahui bahwa lebih dulu kita yang
berniat dibandingkan dia, akan tetapi yang benar-benar melakukan hal itu lebih
dulu adalah dia, bukankah ini membuat kita merasa yang wah dia selangkah lebih dulu dibanding kita. Meski ini bukan soal
menang dan kalah bahkan perbandingan. Meski sebuah hijab bukan lagi menjadi
tolak ukur seseorang, karena di zaman sekarang ini hijab sudah menjadi bagian life style or fashion maybe, begitu
kira-kira yang disampaikan oleh ustadzah saya tempo hari.
Saya cek cek social
media, masyaAllah yang tadinya selalu mengupload foto selfie kini tak nampak
lagi satupun wajahnya ia perlihatkan di sana. Hal ini membuat saya seperti
dihantam sesuatu yang entah apa, mungkin dihantam keyakinan saya sendiri.
Saya tidak
merasa cadar itu sebagai sesuatu yang asing, meski tidak ada anggota dari
keluarga besar saya yang menggunakan cadar. Sewaktu SMP dulu, seorang mahasiswi
mencari pekerjaan sambilan, yang akhirnya ia bersedia menjadi orang yang
mengantar-jemput saya dari sekolah. Karena hal itu, beberapa teman pria saya
tidak ada yang berani menyatakan cinta kepada saya alias tembak-menembak dalam
makna yang tidak sebenarnya. Mereka mengira bahwa yang memakai cadar itu adalah
ibu saya.
Sampai detik ini,
jiwa saya masih seperti ditampar berbagai niat, prasangka, keyakinan, keraguan,
dan segala hal yang tak terlihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar