17/03/17

[Catatan Untuk Diri Sendiri] : Ketika Jiwa Ditampar Jiwa



Saya menulis tulisan ini diiringi nafas yang memburu dan pikiran yang menembus masa yang jauh. Mendengar soal kabar seorang teman menikah, sepertinya hal itu makin menjadi buah bibir yang biasa saja didengar oleh kedua telinga saya. Tetapi, beberapa hari yang lalu, bukan teman biasa yang akan menikah. Teman ini adalah teman dekat saya, teman seperjuangan saya, teman yang dengannya dulu saya selalu berbagi cerita tentang hal gila atau apapunnya, meski setelah lulus sekolah kami masih sempat kontekan tetapi ia tak menceritakan detail tentang kehidupannya yang sekarang ini. Teman yang lain bercerita bahwa teman saya yang satu ini merubah penampilannya dengan hijab besar atau biasa yang disebut-sebut cadar, dan belum lama ini ia telah dilamar oleh teman sekolah dasarnya.

Kemudian cek cek timeline, muncul foto sebuah geng yang hitz luar biasa di sekolah jaman SMA dulu. Tetapi, ada satu anggotanya yang berbeda. Ya, salah satu dari mereka kini menggunakan cadar. Sebagai seseorang yang menjadi saksi hidup seseorang lainnya di masa lalu, bukankah membuat merinding ketika melihatnya kini menjadi sosok yang berbeda?

Jikalau sebuah niat mampu dilihat oleh mata, dan kita ketahui bahwa lebih dulu kita yang berniat dibandingkan dia, akan tetapi yang benar-benar melakukan hal itu lebih dulu adalah dia, bukankah ini membuat kita merasa yang wah dia selangkah lebih dulu dibanding kita. Meski ini bukan soal menang dan kalah bahkan perbandingan. Meski sebuah hijab bukan lagi menjadi tolak ukur seseorang, karena di zaman sekarang ini hijab sudah menjadi bagian life style or fashion maybe, begitu kira-kira yang disampaikan oleh ustadzah saya tempo hari.

Saya cek cek social media, masyaAllah yang tadinya selalu mengupload foto selfie kini tak nampak lagi satupun wajahnya ia perlihatkan di sana. Hal ini membuat saya seperti dihantam sesuatu yang entah apa, mungkin dihantam keyakinan saya sendiri.

Saya tidak merasa cadar itu sebagai sesuatu yang asing, meski tidak ada anggota dari keluarga besar saya yang menggunakan cadar. Sewaktu SMP dulu, seorang mahasiswi mencari pekerjaan sambilan, yang akhirnya ia bersedia menjadi orang yang mengantar-jemput saya dari sekolah. Karena hal itu, beberapa teman pria saya tidak ada yang berani menyatakan cinta kepada saya alias tembak-menembak dalam makna yang tidak sebenarnya. Mereka mengira bahwa yang memakai cadar itu adalah ibu saya.

Sampai detik ini, jiwa saya masih seperti ditampar berbagai niat, prasangka, keyakinan, keraguan, dan segala hal yang tak terlihat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar