10/07/21

Dua Kali Dinyatakan Positif Covid-19, Faktanya Justru Sebaliknya!

 

Source: freepik.com

Saya tidak menyangka bahwa pada akhirnya laman blog saya sampai pada chapter ini. Sebuah chapter yang siapapun tak inginkan di dalam hidupnya. Pernyataan positif covid yang pertama kali saya terima, membuat saya terduduk diam cukup lama. Bingung. Namun, pernyataan positif covid yang kedua kalinya saya terima, benar-benar saya terima dengan hati legowo. Mungkin karena pada momen itu, saya memang benar-benar ingin istirahat saja. Dua kali saya dinyatakan positif covid, inilah kisah keluarga saya sebagai penyintas covid-19.

 

Melakukan Perjalanan Panjang

Cerita ini akan saya mulai dari sebuah kekacauan yang terjadi di rumah. Usai saya merasa kehilangan diri sendiri, ibu saya akhirnya merestui saya untuk melakukan perjalanan panjang ke selatan pulau Jawa, Banyuwangi, guna menenangkan diri untuk bisa kembali berpikir jernih. Banyuwangi adalah sebuah kota yang sudah lama masuk waiting list saya bahkan jauh sebelum pandemi. Dulu rencananya perjalanan tersebut akan saya lakukan selesai saya sidang skripsi. Namanya juga rencana manusia, tak ada yang pasti. Akhirnya seluruh rencana manusia di 2020 kacau-balau karena datangnya pandemi.  Namun, saya tidak menduga bahwa momen ini akhirnya tiba juga pada bulan Juni tahun ini.

Sebelumnya, saya melakukan searching terkait berita potensi tsunami yang terjadi di Jawa Timur dan memastikan bahwa isu tersebut benar. Hanya saja di sini ada kesalahpahaman pada masyarakat dalam menangkap berita. Potensi bukanlah prediksi. Potensi merupakan hal yang berbeda dengan prediksi. Dengan memantapkan hati, akhirnya saya berangkat ke Banyuwangi dengan sebelumnya mampir terlebih dahulu ke Magelang dan Yogyakarta selama beberapa hari. Saat itu mulai terdengar isu lonjakan kasus covid di Yogyakarta. Khusus Yogyakarta, bukan daerah lainnya selama yang saya ketahui.

Berangkatlah saya pada tanggal 12 Juni 2021. Saya menuju ke Magelang terlebih dahulu untuk mengurus berkas-berkas BPJS saya. Dikarenakan saya sudah lulus kuliah, saya harus mengubah BPJS saya menjadi peserta mandiri dan proses ini tidak bisa dilakukan secara online karena terkait dengan persetujuan rekening bank. Saya sedang mengejar waktu untuk menyelesaikan urusan administrasi yang ternyata cukup rumit ini karena tidak cukup mengurusnya dalam satu hari. Saya butuh BPJS karena saya hendak melakukan operasi yang akan berlangsung sebanyak dua kali dengan biaya yang cukup mahal jika dilakukan tanpa BPJS. Errghh. Sabar.

Sembari menunggu berkas selesai, saya ke Yogyakarta menemui teman-teman yang saya sayangi. Teman-teman yang memang ingin saya temui.  Teman-teman yang sedang menghadapi berbagai masalah juga. Saya datang berharap kami bisa saling menguatkan.

 

Dinyatakan Positif Melalui Tes Genose

Tiba H-1 saya akan berangkat menuju Banyuwangi, saya melakukan tes. Hal ini saya lakukan untuk memastikan bahwa diri saya sehat, sebab di Banyuwangi nanti saya akan tinggal di tempat tinggal milik relasi saya. Setidaknya saya harus memastikan bahwa diri saya baik-baik saja agar tidak membawa virus ke tempat orang lain. Tes Genose pertama saya negatif ketika hendak berangkat dengan kereta api dari Bandung menuju Yogyakarta, namun selang beberapa hari begitu saya hendak ke Banyuwangi, tes Genose saya hasilnya positif. Deg. Aduh. Kayaknya gara-gara habis makan sate usus dan lontong sayur deh. Padahal kejadiannya sudah dua jam berlalu dari sebelum tes. Saya diam, kaku, bingung, dan segalanya berputar di pikiran saya.

Saya mengakui bahwa saya sering melakukan perjalanan keluar kota yakni ke Yogyakarta selama pandemi berlangsung. Terhitung di tahun ini sudah tiga kali saya bolak-balik ke Yogyakarta. Dan ini pertama kalinya tes Genose saya hasilnya positif. Kebetulan tesnya memang di RS bukan tes Genose yang bekerjasama dengan  PT. KAI.

Saya segera menenangkan diri, lalu ke apotek beli air NaCl untuk membersihkan hidung dan cepat-cepat ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang berada di dekat Malioboro untuk tes Antigen. Saya tidak percaya dengan hasil tes Genose saya, sementara saya harus memastikan status diri saya saat ini terkait covid.

Saya sempat curhat juga ke petugas Antigen, "Pak, saya nggak mau hasilnya positif. Saya nggak boleh positif sekarang soalnya saya baru abis ketemu teman-teman dan keluarga saya."

Saat itu di benak saya cuma kepikiran mereka. Orang-orang yang baru saja saya temui adalah orang-orang yang berharga dalam hidup saya. Apalagi pandemi begini, saya benar-benar memilih untuk bertemu dengan siapa, mengutamakan orang-orang yang prioritas dulu untuk ditemui.

Akhirnya petugas juga ikut menanggapi kegelisahan saya. "Banyak yang kemana-mana tetapi nggak kena, banyak juga yang cuma di rumah saja justru kena." Beliau seolah ingin membesarkan hati saya, memberitahu saya bahwa jangan terlalu panik dan jika terjadi apa-apa jangan terlalu menyalahkan diri sendiri.

 

09/06/21

#14 Surat Terakhir

 

Source: Tumblr/cottageaesthetic

Yang Terhormat,

Tuan Sam

di Tempat

 

Samudra, rupanya sayalah orang yang ditunjukkan jalan itu untuk yakin bahwasannya kau ada, hadir. Kemarin saya tak sengaja menemukan blog milikmu. Sebuah blog yang berisi jurnal foto. Saya menemukan sebuah foto di sana. Saya tahu ini tidak masuk akal bagi saya. Sebab, bagaimana bisa saat itu engkau berada di sana? Di saat yang sama, saya pun ada di sana. Saya sudah memeriksa banyak foto yang sering saya ambil di sana. Tak sedikit pun timbul keraguan. Bahwasannya tempat itu adalah sama. Saya pikir suatu hari nanti akan datang kesempatan bagi saya untuk bisa mendengar semua penjelasan yang masuk akal ini, tentang mengapa di hari itu kau ada di sana, mengendap-endap mungkin, bagaimana bisa saya tidak menyadari kehadiran engkau yang dekat di hati. Ya, mungkin suatu saat nanti datang harinya. Atau tidak akan pernah. Saat seluruh pertahanan saya telah runtuh. Tak tersisa.

Samudra, telah kutangisi engkau di hadapan ibundaku selama berwaktu-waktu. Saya kehabisan kata. Di hadapannya hanya bisa menyuguhkan air mata. Pada akhirnya saya sadar bahwa di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti hatinya orang lain. Engkau yang tak bersegera menujuku juga mungkin sudah menjadi bagian dari ketetapan-Nya. Ada sesuatu yang menahanmu. Atau engkau memang tidak seharusnya datang, kata-Nya. Adalah salah saya, yang bersikeras menunggu di ruang yang tak pasti.

Usai menangisimu di hadapannya dengan kuungkapkan segala kebaikanmu yang saya tahu, bunda akhirnya mempercayaimu. Awalnya bunda sudi membiarkanku untuk menunggu engkau, tetapi akhirnya bunda mengatakan sampai kapan? Mengapa orang bertanya sampai kapan adalah karena tidak ada kejelasan satuan waktu yang menjadi tujuannya.

Kata ayah, jangan menyia-nyiakan seseorang yang baik dan pasti demi satu orang lainnya yang belum tentu baik dan tidak pasti. Kata bunda, kalau saya menikah akan ada banyak sekali orang yang berbahagia. Saya adalah cucu pertama perempuan dari kedua belah pihak keluarga besar ayah maupun bunda. Ada harapan yang besar di pundak saya. Semua orang ingin memilihkan yang terbaik untuk kehidupan saya. Saya berterima kasih kepada Allah untuk hal itu.

Samudra, saya memikirkan kembali tentang hidup ini. Untuk apa kita hidup? Apa tujuan hidup kita? Apa kiranya yang kita sedang cari di hidup yang singkat ini?

#13 Menemukan Mentari

Source: Tumblr/cottageaesthetic

Demamnya sudah turun. Mentari kembali beraktivitas. Kali ini, ia sedang senang-senangnya mengurus blog barunya. Blog khusus semacam foto-foto tematik. Foto-foto perjalanannya ke berbagai tempat. Foto-foto absurd. Foto-foto yang menjadi bukti kemana kaki-kakinya pernah melangkah. Setiap fotonya ia berikan keterangan lokasi. Mentari puas dengan satu kesibukannya ini. Blog ini termasuk satu dari beberapa blog rahasia yang dimilikinya. Barangkali hanya dia seorang yang berkunjung. Mentari tidak follow siapapun dan tidak menyebarkan hastag apapun. Ia ingin menikmati dirinya sendiri di dalam sebuah tempat dimana ia merumahkan perjalanannya.

Dengan iseng, ia mencari sebuah tempat kesukaannya melalui sebuah hastag. Satu nama kota terlintas. Kota yang damai. Magelang. Kota yang pernah menjadi tempatnya berpulang. Ia menelusuri linimasa tersebut. Memandangi hasil jepretan orang-orang yang mengabadikan kota Magelang dari berbagai sisi.

Sejenak Mentari terdiam. Di hadapannya ada sebuah foto yang membuatnya berhenti. Ia berpikir. Adalah sebuah foto dengan caption, “beautiful Magelang with a beautiful person.”

Bukan captionnya yang membuatnya terdiam, tetapi foto itu sendiri. Seorang perempuan duduk memandangi langit di tengah sawah, di bawah sebuah saung yang diteduhi sebuah pohon pepaya.

Perempuan yang duduk itu, sangat tidak asing. Ada kepanikan di dalam kepalanya. Jari-jarinya bergerak cepat, mencari-cari file yang entah apa. Hingga beberapa saat kemudian jari-jarinya berhenti. Sesuatu itu telah ditemukan. Dicocokkannya dengan foto tersebut. Dirinya sendirilah yang pernah datang ke tempat itu, menggunakan pakaian itu, duduk di pinggir saung kecil itu, menatap langit dengan cukup lama, menghirup udara persawahan sehabis mendung.

Mentari menarik nafas panjang, menghembuskannya, berkali-kali hal itu dilakukannya. Ia melirik nama pemilik blog itu. Saddam Samudra.

Mendadak tubuhnya gemetar hebat, dadanya sesak, air matanya runtuh. Pikirannya semakin kacau, hatinya dibuat bertanya-tanya.

03/06/21

#12 Kepada Tuan Sam

 

Source: Tumblr/Swedishlandscapes

Yang terhormat,

Tuan Sam

di tempat

 

Pertama, dengan berat hati saya harus menulis surat ini. Biar kuceritakan kembali perihal malam itu, barangkali engkau lupa.

Saya adalah anak perempuan yang berdiri di bawah gerimis suatu malam pada bertahun-tahun yang lalu. Seharusnya saya bisa berlari pulang karena hujan hanyalah gerimis, tetapi gelapnya jalanan perumahan yang belum begitu ramai penghuni itu membuat langkah saya tertahan. Saya baru saja pulang dari masjid usai shalat Magrib bersama anak-anak sebaya saya kala itu. Setiap sore pada Rabu dan Sabtu, kami rutin ikut TPA di masjid yang dilanjutkan shalat Magrib berjamaah. Saya ingat saat itu seorang anak laki-laki dengan bangga menceritakan sebuah pengalamannya yang menyeramkan. Anak-anak ketakutan dan berhamburan seolah dalam sekejap harus segera tiba di rumah. Mungkin saya berlari paling pelan hingga ketinggalan rombongan. Saya diam di tepi jalan.

Adalah engkau, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang lewat kala itu. Melihat saya dan menghampiri menawarkan bantuan untuk mengantarkan sampai rumah. Sejak saat itu barangkali awal mula terpikatlah saya, bahwa kebaikanmu tak pernah bisa dilupakan. Kemudian kita berteman. Kepindahan saya ke kota lain menjadi sebab berakhirnya seluruh cerita kita yang ternyata barangkali sebenarnya belum benar-benar berakhir.

Sam, saya telah mencari engkau kemana-mana. Berbekal sebuah nama milikmu. Saya menelusuri setiap linimasa, berharap jumpa sedikit kabar tentangmu. Suatu hari saya menemukan sebuah akun medsos milikmu, tetapi rupanya kau tidak terlalu aktif di sana. Beberapa kali saya menelusuri lewat mesin pencarian, bersyukur nan bahagia namamu berulang kali muncul sebab mempublikasikan beberapa jurnal ilmiah. Kau keren, Tuan! Tentu saja seperti sejak dulu. Bahkan namamu berkali-kali masuk artikel, tentu artikel yang baik-baik. Semoga orang itu memang engkau, bukan orang lain yang memiliki kesamaan nama. Saya takut salah mengira.

30/05/21

#11 Teman Hidup

 

Source: Tumblr/kitaplarvsarkilar


Perjalanan panjang?

“Maksudnya, Kak?”

Kak Dito tidak segera membalas. Rasa ge-er menyelimuti Mentari, tapi ia teringat apa kata Kica. Ada tiga hal yang melunturkan kegantengan seorang laki-laki, pertama ketidaksholehan, kedua kege-eran, ketiga kegengsian. Begitu pula pada seorang perempuan. Kege-eran bisa melunturkan kecantikan.

“Eh, sorry sebelumnya, kok gue jadi pake aku-kamu, sih. Kayaknya kebawa budaya Yogyakarta nih. Hehe.”

Mentari menyipitkan mata. Kak Dito melanjutkan typingnya.

“Ngetrip bareng anak-anak yuk! Ke blue fire, gitu, Mentari.”

Oalah.

“Waaaaa, blue fire-nya yang mana?”

“Yang di ujung pulau, nanti kita backpackeran gitu, tapi tenang nanti ada relasi juga di sana.”

“Ujung pulaunya mana?”

“Banyuwangi.”

“Hah Banyuwangi??? Impian aku banget. Itu dulu rencanaku sehabis sidang, tapi sampai sekarang belum kesampaian. Aku pengen, tapi gimana bilangnya ke orang tuaku?”

“Mau gue yang mintain izin?”

“Nggak perlu, kak.”

Mentari teringat ekspedisi Kei. Dengan alasan kuat saja tidak berhasil, apalagi sekedar berjelajah seperti ini.

“Atau ajak aja sekalian ayah lo buat ikut.”

“Nggak mungkin, Kak. Ayahku pekerja keras. Nggak mungkin mau ambil sembarangan cuti untuk hal-hal semacam ini.”

“Kata gue sih, lo coba ngomong dulu. Kita nggak pernah tahu isi hati dan pikiran orang lain. Siapa tahu orang tua lo berubah pikiran.”

Mentari merenung. Dipikirkannya kembali tujuan hidupnya.

 

26/05/21

#10 Ekspedisi

 

Source: Tumblr

Sambil menatap langit-langit kamar, Mentari memainkan ponselnya. Mencoba menghubungi Bima lewat pesan teks.

“Bim, yakin sama perempuan itu?”

“Kenapa emang?”

“Nanya aja.”

“Jujur nih ya, yang mau serius sama gue itu nggak banyak. Susah nyarinya. Ketika gue udah nemu satu yang cocok, kenapa gue harus ngerem?”

Mentari tertawa dalam hati. Ternyata Bima sadar dirinya tidak selaku barang di Tanah Abang.

“Kan aku cuma nanya yakin atau nggak.”

“Aneh lo. Udah di tahap ini masa gue nggak yakin.”

Mentari menghela nafas. Sebentar lagi temannya akan berkurang satu. Kenapa setiap seorang teman akan menikah, teman lainnya akan merasa kehilangan? Pertanyaan yang tak kunjung Mentari temukan jawabannya.

 

***

 

Mentari menulusuri linimasa. Dibuat terkaget-kaget dengan sepasang kekasih yang masih saja belum halal, tetapi bepergian dari Sabang sampai Merauke bersama-sama dalam waktu yang berturut-turut.  Bagaimana bisa seorang perempuan mendapat izin dari orang tuanya untuk bepergian seperti ini?

Diam-diam dalam hati sebenarnya Mentari juga ingin, tapi toh sangat tidak mungkin. Pertama, ia mungkin tidak akan diizinkan oleh orang tuanya. Kedua, ia tidak punya kekasih. Mau pergi sama siapa?

Rasa penasarannya membuat jari-jarinya terus berusaha menelusuri jejak-jejak petualangan sepasang kekasih tersebut yang ditinggalkan dalam bentuk banyak potret yang dibagikan oleh keduanya.

Si laki-laki sama sekali tidak pernah memajang foto berdua dengan kekasihnya, sampai di akun si perempuan, si perempuan sendiri yang membagikan potret keduanya dengan caption yang dinilai romantis oleh kalangan muda. Sebuah potret petualangan mereka dan caption yang merangkum keseluruhannya.

25/05/21

#9 Menghitung Hari

 

Source: Tumblr

Di sambungan telepon pada sembilan tahun yang lalu.

“Halo, Bimanya ada?”

“Iya, ini gue.”

“Bim, selamat ulang tahun, ya! Cie makin tua, makin berkurang aturan, nih.”

“Haha.. kata siapa berkurang. Yang ada tanggungjawab makin banyak!”

“Yaudah jalanin aja! Eh besok gue tunggu ya di kafe biasa dekat Braga jam 4 sore!”

“Barengan aja nggak sih balik dari sekolah?”

“Nggak ah, males gue kalo temen-temen pada ciye-ciyein gue sama elo.”

“Atuh kumaha?”

“Gue balik rumah heula, berangkat sendiri-sendiri wehlah.”

“Ye, si ribet! Serah lo, deh! Kumaha sia, weh! Jam 4 ya!”

 

***

 

Bima dan Mentari sudah berteman selama sepuluh tahun lebih. Kala itu Mentari masih bergue-elo sebelum akhirnya merantau ke Yogyakarta mengubah kebiasaannya dalam berbicara. Yogyakarta mengubah banyak hal dalam dirinya, meski Bima tetap ada dalam kehidupannya.

Keduanya pernah masuk sekolah dasar yang sama di kota Bogor.  Selepas lulus sekolah dasar, Mentari hijrah ke Bandung bersama keluarganya. Ternyata Bima juga. Begitu di Bandung, mereka tidak lagi masuk sekolah yang sama. Lulus SMP, rupanya tanpa sengaja mereka mengincar SMA yang sama dan berhasil masuk. Tak heran nama Bima sering terdengar di sela-sela percakapan di dalam rumah Mentari.

Bahkan sampai pada hari ini, ketika Mentari baru saja pulang dari bank.

"Neng, kok nggak cerita sih kalau Bima mau menikah?"

18/05/21

#8 Skripsweet

 

Source: Tumblr

Di samping memori Candra, ada banyak cerita lain yang tidak kalah ramai. Hadir karena sebuah alasan, pergi pun begitu meski tidak dijabarkan terang-terangan. Bunda tidak tahu bahwa ada satu orang lagi yang selalu ada. Bukan sekedar selalu ada, tetapi selalu punya jawaban untuk setiap pertanyaan yang diajukan oleh Mentari dan selalu bertanya balik seolah perspektif Mentari adalah juga selalu penting baginya.

Adalah Kak Dito, satu-satunya stranger yang namanya ada dalam daftar ucapan terima kasih di halaman skripsi Mentari. Bukan stranger, sih. Sejak banyak membantu Mentari, Kak Dito sudah berubah jadi Ranger. Sebenarnya mereka sering berpapasan bertahun-tahun di lingkungan fakultas, tanpa pernah berkenalan. Sampai suatu hari Kak Dito menjadi satu-satunya harapan bagi Mentari dalam menyelesaikan skripsinya. Selain jarak angkatan yang tidak terlalu jauh, sehingga menurut Mentari, Kak Dito masih kuat ingatannya mengenai bahasan skripsi, juga Kak Dito barangkali orang yang paling mudah untuk ditemui. Kak Dito ialah orang yang menggunakan teori tugas akhir yang sama dengan Mentari. Mentari butuh lebih banyak pemahaman untuk memahami, utamanya dari seseorang yang sabar mengajari.

Hari-hari mengerjakan skripsi tidak lepas dari hari-hari menghubungi Kak Dito. Lebih tepatnya datang untuk merepotkannya. Anehnya Kak Dito selalu mau-mau saja diganggu olehnya. Mentari dan Kak Dito bisa berbincang lama sekali, yang awalnya hanya membahas persoalan tugas akhir, hingga akhirnya kemana-mana. Traveling, fotografi, perlombaan, organisasi, dosen, kepribadian, media sosial, volunteering, pendakian, podcast, desa-desa, kisah-kisah, bencana-bencana, film-film, buku-buku, kelinci, kucing, suku Baduy, kereta api, negara Swiss, juga tentang bahasan tesis kak Dito sendiri yang juga sedang berjuang menyelesaikan S2, apapun itu, pernah ada dalam pembicaraan mereka, tetapi yang paling penting dari itu semua adalah kesabarannya dalam menjelaskan dan seluruh wejangan-wejangannya yang amat berguna untuk Mentari yang banyak tidak mengertinya.

 

11 Desember 2019

Kalau ada yang ditanyain, tanyain aja. Selow.

Kemaren gue ada sih buku-buku dari pdf, tapi kalau teori-teori yang inti kayak Iser dan Creswell dari buku cetak semuanya, buku pdf tambahannya aja. Pakai aja bukunya nih, sekarang udah nggak kepake kok.

 

15 Desember 2019

Kalau ketemu dosbing lo, salamin ya! Bilang aja dari Dito ganteng gitu.

 

25 Desember 2019

Nggak balik Bandung, Mentari? Kampus udah libur belum, sih?

 

9 Januari 2020

Liburan-liburan gini nggak usah pusing mikirin skripsi, pusingnya ntar aja pas masuk hahaha, yang penting kita punya target aja, tapi ya kalau bsia dicil dan nggak bikin stress kenapa nggak hehe..

Ya lo bisa bikin cover skripsinya dulu kek, atau curriculum vitaenya kek, yang penting nambah lembarnya.

Kalau lo di rumah mending nikmati liburan, mumpung di rumah. Skripsiannya di Jogja aja, kalau ntar pusing juga kan banyak temennya kalau di jogja mah hahaha, kalau di rumah pusing sendiri..

 

09/05/21

#7 Memori Candra

Source: Tumblr

Sore bersama Bunda lagi. Keberkahan lagi. Keberuntungan lagi. Sayangnya, membahas hal-hal yang membuat Mentari tertunduk. Bingung. Dan bingung.

“Bunda nggak ingin kejadian seperti yang terjadi pada Candra terulang lagi. Empat tahun, Mentari. Empat tahun selama perkuliahan dia rela selalu kamu repotin. Bahkan saat dia tahu bahwa dia mungkin tidak bisa mengambil hati kamu. Sampai pada akhirnya dia mundur dan sekarang memilih orang lain. Kamu kehilangan teman sebaik dia, Mentari.”

Mentari seketika teringat memori yang lalu. Tentang Candra. Mentari melirik ponselnya. Matanya mencari-cari kontak Candra. Seluruh history percakapannya dengan Candra masih tersimpan rapi. Mungkin bukan karena Candra adalah seseorang yang berarti, tetapi karena memang dasarnya Mentari malas untuk menghapus-hapus percakapan yang pernah ada. Tersimpan rapi dimulai pada hari itu, hari dimana Candra menemaninya membeli HP baru sehingga seluruh percakapan yang ada dimulailah pada hari itu.

 

19 Januari 2019

*Mentari sehabis ditemani Candra beli HP*

Can, makasih banyak ya udah ditemenin beli HP. Ini tombol matiin power HP-nya dimana, ya?

Iya, sama-sama. Kamu nggak tahu? Saya balik ke kos kamu aja kalau gitu.

Untuk ngasih tahu cara matiinnya? Nggak usahlah. Nyusahin kamu nanti.

Kan emang selalu nyusahin, tapi saya senang kalau disusahin sama kamu. Hehe.

 

20 januari 2019

 *Candra ngirim beberapa foto candid Mentari*

Masih ingat ini?

Hahahahaha hapus ih, Candra. Ini jaman kapan? Lawas banget nih pasti.

Nggak mau dihapus, ah. Nemu ini aja saya senang.

Kok punya sih foto-foto itu? Ternyata udah ngefans dari dulu ya, Can.

Emang iya hahahaha menyedihkan ya punya fans dekil kayak gini.

 

21 Januari 2019

*Candra nanya soal menanam*

Kamu masih mau nanem?

Saya udah nggak ada pot, mana sini pot kamu, Can.

Saya tadi mau ngasih pot tapi belum sempat, besok aja. Mau berapa pot?

Gimana, sih. Yang ada aja.

 

22 Januari 2019

*Candra bertanya*

Nitip nasi goreng atau capcay, nggak?

Dimana?

Saya lagi makan nih sama Mas Didi, di warung capcay. Mau dipesenin?

Nggak usah, Can. Makasih.

Makan nasi lho kamu.

Iya besok.

 

#6 Wajah Seorang Perempuan

 

Source: Tumblr

Pagi menjelang siang. Mentari menarik kopernya. Ia telah sampai di depan kamar sebuah hotel tempatnya menjalani sebuah training selama tiga hari kedepan. Pelan-pelan membuka pintu lalu bergegas menuju kamar mandi yang di dalamnya menggantung sebuah cermin. Mentari mencuci wajahnya. Dilihatnya wajahnya pada pantulan cermin itu.

Ia menghela nafas.

Wajah ini. Wajah yang mengundang banyak dosa. Wajah yang dengannya mungkin seseorang bisa saja berdosa. Mengagumi tanpa menyebut nama-Nya. Ampuni saya, yaa Rabb. Batin Mentari.

Dibilasnya sabun yang memenuhi wajahnya. Terbayang kejadian malam itu. Sehabis pentas teater, masih menggunakan gaun putih sebagai kostum, tiba-tiba Candra menujunya. Tahu apa kalimat pertama yang dilontarkannya?

"Kamu cantik banget malam ini."

Seperti keceplosan atau bagaimana, tapi Mentari berusaha tidak peduli.

"Apasih." Tangkasnya. Candra salah tingkah. Dan sepanjang malam itu lagu Beautiful in White diputar Candra dari balik headset-nya.

Atau suatu kejadian, ketika Mentari tempo hari belanja bulanan ke supermarket dekat tempat tinggalnya, seorang pria melihat ke arahnya terus-menerus. Mentari pura-pura tidak peduli walau ngeri dalam hati. Begitu berpapasan, laki-laki itu berseru, "Ih, cantik!" Mentari terkejut, sementara laki-laki itu masih menatapnya. Ngeri.

Ia selalu teringat firman-Nya dalam Al-Qur’an tentang laki-laki dan pandangannya, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur : 30)

Ada lagi yang lebih mengerikan, saat seorang lelaki tua gila menerobos masuk ke rumah KKN-nya. Semua perempuan di dapur saat itu, tetapi lelaki itu hanya menatap fokus pada dirinya sambil menunjuk-nunjuknya dan berkata ingin mempersuntingnya. Mengerikan, bukan? Saat seorang perempuan dengan wajah baru bangun tidur hendak memasak sarapan pagi, lalu harus menjadi korban kegilaan seseorang dengan menerima perkataan yang membuatnya bergidik ngeri.

08/05/21

#5 Belum Usai

 

Source: Tumblr

Sore di teras rumah. Bunda baru selesai menyapu halaman, Mentari keluar hendak menyapa Bunda dan langit. Duduk bersama Bunda di teras rumah saat sore hari adalah keberkahan bagi Mentari. Masih di dunia yang sama, menatap langit yang sama, membahas hal-hal yang perlu dibahas.  

“Neng, kamu jadi terima tawaran Bu Eka untuk ngajar di sekolah miliknya yang di Bogor?”

 “Kayaknya belum bisa, Bunda."

Belum, bukan belum bisa, tapi belum siap. Belum siap bertemu cinta pertama. Entah cinta atau bukan, pertama atau bukan, Mentari tidak siap kalau harus tinggal satu kota dengan orang itu.

"Ayah pengen ada salah satu anaknya yang ngurus rumah di Bogor. Kalau kamu mau, nanti abang kamu juga pindah ke Bogor dari Jakarta. Jadi, kamu ada yang menemani."

Mentari nampak berpikir.

Kalau orang itu tahu Mentari tinggal di Bogor juga, bagaimana? Apakah orang itu mau bertemu dengannya? Kalau nanti dia bertemu orang itu dengan tidak sengaja, bagaimana?

Ah, dasar Mentari. Padahal Bogor itu luas. Walau kalau takdirnya bertemu, pasti akan bertemu. Kalau tidak, ya tidak.

Terus kalau ketemu, saya harus gimana? Harus ngomong apa? Terus apakah saya harus bertemu untuk sekedar menguji debaran di jantung saya? Ah, gimana..

Terus kalau hati saya belum siap, tapi kedua kaki saya oke-oke saja, lalu kalau tiba-tiba saya sudah berada di depan rumahnya, gimana?

Tapi Mentari tahu kalau dia tidak seberani itu. Tidak akan.

"Mentari." Panggil Bunda. Lamunannya buyar.

"Di Bandung masih banyak yang perlu Mentari urus, Bun.. Mentari minta maaf, ya."

Bunda mengangguk.

#4 Preloved

 

Source: Tumblr

Lagi-lagi anak-anak yang lain belum datang. Sulit sekali mengubah kebiasaan yang sudah diwajarkan, tapi Mentari selalu datang lebih dulu, Bima selalu menyusul setelahnya karena rumahnya cukup dekat dari titik kumpul.

"Mau ngirim barang jualan lagi? Preloved?" Bima memandangi barang-barang bawaan Mentari.

"Iya, nih." Respon Mentari.

"Barang apa?”

“Buku, ada juga baju-baju.”

“Nggak apa-apa dijual lagi?”

“Nggak apa-apa, bukunya sudah nggak saya baca lagi, bajunya juga sudah saya nggak mau pakai lagi.”

“Kenapa pada dijual, sih?”

“Kan sudah dijawab barusan.”

“Itu gua bukan nanya, tapi pernyataan. Heran. Pantas baju yang lo pakai itu-itu aja, yang lainnya pada dijualin, sih.”

“Dipakai berkali-kali karena nyaman.”

“Nyaman atau.. karena nggak punya pilihan lain.”

Mentari tersenyum kecut. Sembarangan, batinnya.

“Kenapa sih orang-orang suka mengumpulkan hal yang nggak penting, yang nggak bermanfaat buat kehidupan dia selanjutnya. Kalau kita mati besok gimana? Berusaha menyedikitkan barang-barang saja, supaya nggak ngerepotin orang-orang yang nanti kita tinggalkan. Nggak bikin mereka bingung dengan apa-apa yang pernah kita miliki.”

“Kenapa sih ngomong gitu?” Bima memancing.

“Kenapa sih orang-orang suka menghindar dari topik kematian?” Mentari membalas.

“Gue nggak menghindar. Gue justru tanya, kenapa lo ngomong gitu?”

“Tiba-tiba terlintas aja.”

“Terlintasnya sering, ya.”

Mentari hanya nyengir.

28/04/21

#3 Kata Mas Anon

 

Source: Tumblr


Langit sedang ramah. Sore cerah.

"Kena minyak panas lagi?" Bima tiba-tiba datang.

Mentari menatap nanar punggung tangan kanannya.

"Oh, nggak. Kegesrek waktu ngangkat koper." Mentari jujur.

"Sok kuat, sih." Canda Bima.

"Emang udah biasa, kok." Mentari jujur lagi.

"Giliran ada Bang Harun mendadak nggak biasa." Canda Bima lagi.

"Heh! Waktu itu emang berat, tau! Satu kardus besar isinya buku semua." Lagi-lagi Mentari memang jujur.

Mentari dan Bima sedang menunggu teman lainnya. Teman-teman komunitas. Hari itu mereka hendak melangsungkan rapat. Mentari selayaknya matahari, selalu muncul terlebih dahulu.

Tapi baginya, tidak apa-apa. Menunggu berarti menjadi kesempatan untuknya. Kesempatan membaca tulisan-tulisan lelaki anonim di sebuah blog yang teduh.

"Mas Anon itu lagi." Bima lagi-lagi ikut campur. Mentari memang pernah menceritakan padanya, perihal tulisan-tulisan lelaki itu, lelaki yang dipanggilnya Mas Anon, a.k.a Anonim.

"Iya, nih."

"Ada tulisan terbaru?"

"Iya."

Mentari masih menatap layar laptopnya, layar yang menampilkan tulisan lelaki itu.

 

“Perempuan baik itu, namanya tidak berkeliaran di tongkrongan anak laki-laki,

Karena perempuan baik itu namanya tidak sembarangan diucapkan oleh anak laki-laki.”

 

            Mentari mengernyitkan dahi. Ah, apa iya begitu?

 

25/04/21

#2 Stranger


Source: Tumblr

Gujes, gujes. Kereta melaju. Cepat.

Perempuan itu terus memandang keluar jendela. Seakan tak punya pilihan lain. Mencoba kegiatan lain dengan membuka-buka buku bacaan yang dibawanya, hingga kemudian mulai tak fokus karena perutnya mulai merengek minta diisi. Tangannya merogoh tas ransel di pangkuannya. Sebuah roti muncul, dengan keju di bagian atasnya, mungkin juga di dalamnya. Perempuan itu perlahan melahap rotinya sambil terus melihat keluar jendela. Di hadapannya terhampar hijau yang menyala di mata, bercampur dengan semesta yang tengah mempertontonkan birunya. Merasa diperhatikan, perempuan itu berhenti mengunyah. Akhirnya peduli juga, batinnya.

"Keju, langit biru, buku-buku."

Perempuan itu sungguh berhenti mengunyah, lebih tepatnya karena terperangah. Cerdas, batinnya. Tiga hal yang menjadi favoritnya sekaligus digumamkan oleh laki-laki di hadapannya. Dengan berusaha biasa saja, berpura-pura tidak takjub, perempuan itu kembali asyik mengunyah.

Rasa kantuk mulai menyerbunya. Apa-apa yang memenuhi pangkuannya, dirapikannya kembali Perempuan itu akhirnya tertidur. Pulas. Tak menyadari bahwa biru langit mulai berpendar.

Tik. Tik. Tik. Laju kereta melambat bersamaan dengan kaca jendela yang mulai dihuni titik-titik air hujan. Hanya gerimis. Perempuan itu terbangun, mengucek-ngucek kedua matanya.

Belum hilang kantuknya, kembali laki-laki di hadapannya membuatnya terperangah.

23/04/21

#1 Dalam Perjalanan Pulang

Source: Tumblr

Perempuan itu memegang kepalanya yang sebenarnya tidak sakit di ruang tunggu kereta. Memikirkan nasib surat-surat yang ia pajang di blog pribadinya, juga nasib rasa malu yang kian mengakar. ‘’Ah..’’ racaunya, tidak jelas.

Perempuan itu merasa malu dengan surat-surat yang dibuatnya, surat cinta katanya, surat-surat yang entah untuk siapa. Sesiapa sajalah, batinnya. Terdengar putus asa, tapi sebenarnya tidak juga. Ia yakin di suatu tempat, surat-suratnya itu mendapatkan balasan, tetapi balasan yang tidak pernah sampai kembali padanya.

Jika saja tak diterimanya kabar bahwa neneknya sudah dua hari tidak kunjung bangun dari tidurnya, mungkin sekarang ia sedang bersiap “kencan” dengan teman perempuannya di rumah makan seafood yang tersembunyi di daerah Jalan Sudirman, belakang circle-K lampu merah.

“Ah..” lagi-lagi. Masih dengan tertunduk sembari memegang kepala.

Malu kembali menyeringai. Menceritakan kriteria pasangan dan dibaca orang-orang yang tidak bisa ia tebak isi kepalanya adalah perkara nyaris bunuh diri. Bagaimana jika ada laki-laki yang mungkin membuatnya tertarik, lantas mundur teratur karena tulisannya. Bukan cerdas yang seperti itu yang ia maksud. Maksudnya adalah, cerdas karena mau berpikir, mau belajar, mau duduk bersama-sama untuk diskusi. Sebenarnya ini perkara soal; ia merasa bukan perempuan yang pintar, sering salah menangkap maksud, terlalu polos kalau kata orang, memberi perintah padanya harus detail karena kalau tidak, otaknya tidak mampu mencerna, loading istilahnya. Maka, bermimpi bisa hidup bersama laki-laki yang cerdas menjadi pengharapannya. Tanpa agar supaya. Selain, melengkapi kekurangannya.

04/01/21

Review: Buku Zam-zam dan Harta Karun di Dalamnya!

 


Pergantian tahun ini masih membaca buku yang sama, Zam-zam judulnya, ditulis oleh kak Choqi Isyroqi. Buku ini merupakan kumpulan cerita tentang makna kehidupan. Sebenarnya pembahasannya ringan saja mengenai fenomena sehari-hari, tetapi isinya daging semua. Bagi saya pribadi, begitu banyak hal dalam pandangan saya yang berubah usai membaca tulisan-tulisan kak Choqi dalam buku ini. Karena ini buku indie, saya tidak tahu apakah buku ini masih bisa didapatkan atau tidak, tetapi setidaknya di sini saya ingin membagikan beberapa poin dalam buku ini yang berhasil mengubah cara pandang saya. Dengan penjelasan yang sederhana, justru Kak Choqi membuat pembaca mudah memahami apa yang perlu diubah dalam pikiran kita mengenai hal-hal besar dalam hidup kita.

Sebelumnya, saya mau bilang bahwa kamu beruntung menemukan tulisan saya kali ini. Tinggallah sejenak, bacalah tulisan ini sampai akhir karena setelah ini akan saya ceritakan harta karun dalam buku Zam-zam tersebut. Kamu tidak buru-buru, kan?

 

Pernikahan adalah perlombaan?

Apakah benar bahwa pernikahan adalah perlombaan? Hal ini seolah didukung fakta bahwa orang-orang senang sekali bertanya tentang rencana hidup orang lain. “Kapan nikah?” mungkin lebih tepatnya bukan rencana, tetapi takdir. Kalau sudah begitu, bukankah cuma tuhan yang tahu, ya?

Akhirnya hal ini membuat yang ditanya geram. Sehingga jika ditanya, “kapan nikah?” ia akan menjawab, “besok. Kalau nggak hujan.” Hal ini akan membuat yang bertanya langsung terdiam.

Pernikahan memang momen membahagiakan, mungkin orang-orang di sekitar kita tidak sabar melihat kita bahagia. Lha, dipikirnya sebelum menikah ini, kita menderita?! Nggak juga, kan.

Sebelum menikah, bebannya memang ditanggung sendiri, kalau sudah menikah bebannya ditanggung berdua. Ya, berdua, sih, tapi bebannya juga lebih banyak dari sebelumnya. Jadi, kalau ada orang yang menikah tapi yang terbebani cuma salah satunya aja, mending evaluasi ulang deh pernikahannya. Lha, saya siapa sih bisa-bisanya ngasih saran gitu, nikah aja belum.

Jadi gini, sebenarnya pernikahan itu memang benar adalah sebuah perlombaan, tetapi bukan perlombaan siapa yang lebih cepat menikah. Pernikahan adalah perlombaan, yakni perlombaan tentang pernikahan siapa yang paling bermanfaat.

Ketika dua orang yang senang menebar manfaat dipersatukan dalam sebuah ikatan pernikahan, kebayang gimana terang benderangnya, kan?

 

Berjalan tanpa tujuan?

Banyak di antara kita memilih untuk mengikuti jalan hidup yang mengalir saja. Betul, jalannya memang ada, tetapi hendak kemana kita saat melewati jalan tersebut? Bukan tidak mungkin bahwa kita akan tersesat ketika membiarkan diri terus berjalan tanpa memiliki tujuan.

“Sama dengan kebanyakan orang, banyak dari mereka yang memilih jalan, namun tidak menentukan tujuannya terlebih dahulu. Hanya karena jalanan itu nampak terbuka, mereka langsung saja mengikuti pilihan tersebut. Padahal bisa jadi, jalan itu tidak membawa mereka pada tujuan mereka. Mungkin memutar atau bahkan berlawanan arah.” – Zam-zam, hal. 16

Benar nggak, sih? Kalau tidak punya tujuan, rasanya seolah perjalanan kita sia-sia dan tidak akan pernah ada rasa puas usai mengejar sesuatu, kecuali kita tahu tujuan dari perjalanan kita apa.

Misal, kamu mencintai seseorang. Dengan kata lain, dia adalah tujuanmu. Seseorang yang ingin kamu rebut hatinya. Kamu akan fokus pada bagaimana perjalanan yang harus kamu tempuh dalam menujunya, kamu memegang peta itu, peta tentang dirinya. Kamu tahu bagaimana jalan menujunya karena kamu tahu dia seperti apa. Bukankah begitu?

Jadi, jika inign berjalan lebih cepat, tentukan tujuan dulu. Dengan begitu, kita tak akan tergoda atas jalan yang orang lain pilih. Selain itu, kita juga perlu mengetahui kemampuan kita, sehingga kita dapat menentukan, perlu seberapa cepat kita menuju tujuan kita. Tidak harus selalu sama dengan langkah orang lain.

Kalau kita tahu tujuan, maka setiap jalan adalah proses. Setiap jalan adalah penting. Misal, tujuan kita ingin beli rumah. Maka masa-masa menabung dan berjuang dalam hidup sederhana, irit, terbatas, menjadi masa yang mahal karena merupakan perjalanan dari proses mencapai tujuan yang mahal.

Misal, mendaftarkan diri ke suatu lowongan kerja. Ada proses menunggu yang mahal. Menunggu merupakan bagian dari perjuangan sampai akhirnya tiba di pintu kemenangan. Agar menunggu tidak sekedar menunggu, siapkan plan A, B, C, dan D. Bukankah begitu banyak orang atau motivator yang bercerita pengalaman masa lalu mereka saat belum menjadi apa-apa? Bukankah mereka sedang membanggakan proses dari keberhasilan yang mereka kini dapatkan? Ya, karena bagi mereka proses tersebut amat berharga. Lihat, betapa berbincar-binarnya mereka menceritakan masa lalu yang tidak disangka akan mengantarkan mereka pada masa keemasan sekarang ini. Berbeda ketika rasanya mendengarkan seseorang menceritakan apa yang ia dapatkan tanpa melalui proses.

 

Kita selalu punya pilihan?

“Boleh nggak, kita nggak salat?”

Nggak bolehlah, masa nggak salat?”

“Yakin nggak boleh?”

“Yakin.”

“Padahal boleh loh kita nggak salat.”

Bingung, kan? Jadi, boleh-boleh saja kalau tidak mau salat. Yang tidak boleh adalah menentukan sebuah pilihan, tetapi tidak menjalankan konsekuensi dari pilihan tersebut!

“Setiap pilihan itu memiliki konsekuensinya masing-masing. Hal itulah yang selalu kita lupakan. Kita merasa, selama pilihan itu membuat nyaman, maka kita memilih pilihan tersebut. Tak peduli, konsekuensi apa yang kita hadapi.” – Zam-zam, hal. 51

Kita benar-benar bisa memilih untuk menjadi apapun dalam menjalani hidup. Jadi, apakah kita siap juga menghadapi konsekuensi dari pilihan kita? Mungkin konsekuensi tersebut tidak terasa sekarang, tapi di masa mendatang.

 

Tidak mengerjakan Sunnah tidak apa-apa?

Ada yang salah dengan mindset kita selama ini soal “sunnah”. Sedihnya, sejak kecil kita sudah diajarkan bahwa sunnah adalah sesuatu yang jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan tidak apa-apa.

Nyatanya, apanya coba yang tidak apa-apa?!!! Coba kita baca beberapa hadis di bawah ini,

“Barangsiapa yang selalu mengerjakan shalat Dhuha niscaya akan diampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Turmudzi)

“Barangsiapa yang menunaikan shalat Dhuha ia tergolong sebagai orang yang bertaubat kepada Allah. “Tidaklah seseorang selalu mengerjakan shalat Dhuha kecuali ia telah tergolong sebagai orang yang bertaubat.” (HR. Hakim).

“Barang siapa yang tidak meninggalkan dua belas rakaat pada shalat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surge.” (HR. At-Tarmidzi no. 414 dan An-Nasa’i no. 1794)

“Barangsiapa yang menjaga sholat empat rakaat sebelum dhuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

Dan masih banyak hadis lainnya mengenai sunnah.

Jadi, ubahlah mindset kita yang awalnya, “tidak apa-apa jika tidak dikerjakan” menjadi “rugi jika tidak dikerjakan.”

Rugi, kan?

Bagaimana? Apakah setelah membaca poin-poin di atas, sudut pandangmu kian meluas? Apakah ada mindset dalam dirimu yang ingin kamu ubah?