“Besok jam berapa? Serius dululah, karena
saya selalu atur jadwal saya untuk kau. Jadi, jangan kau kasih berantakan
jadwalku!”
Hari itu saya
tiba di depan kost-nya saat matahari sedang terik-teriknya. Setahu saya ban
motornya kempes, jadi biarlah saya menjemput dia. Rindu juga untuk melihat kaca
jendela kost-nya.
Tak berselang
berapa lama ia tiba dengan motornya, memperhatikan saya sejenak lalu turun dari
motornya untuk membuka pintu. Saya mencium gelagat aneh. Dia hanya senyum-senyum
kalem pada saya. Ah, sejak kapan dia kalem di depan saya seperti itu? Bukan
seperti ia yang biasanyanya. Sebab ritual tiap kali kami bertemu adalah kami
akan sama-sama saling histeris bahagia lalu berpelukan. Kali ini tidak. Saya
balik memperhatikan dia. Ya, memang saat itu saya masih duduk di atas motor,
masih pakai helm, dan pakai pula masker. Tapi bukan berarti ia tak mengenali
sahabatnya sendiri, bukan? Toh mata saya tetap terlihat meski saya pakai
masker.
Saya masih memperhatikan
gerak – geriknya. Dia ini kenapa? Pikir saya. Ia bersiap memasukkan motornya ke
dalam garasi kost. Saya masih menunggu kesadarannya. Tepat saat gang sepi namun
tiba-tiba ada mamang bakso mangkal di depan kost, mungkin ia hadir di sana
menjadi saksi peristiwa langka kala itu.
Saya putuskan
untuk melepas masker saya. Tepat saat ia hendak memasukkan motor, saya berkata,
“kau tidak mau kasih masuk saya?” dia berhenti sejenak. Diam sebentar. Lalu
mendekat ke arah saya, jengkelnya saya adalah ketika dia terlihat berpikir dulu
selama beberapa detik, baru dia menyadari saya. Sontak saya langsung turun dari
motor, berlari ke jalan menjauhi dia mencoba mendramatisir suasana.
“Bisa-bisanya kau tidak kenali saya? Selama apa kita tidak ketemu sampai kau
tidak kenali saya?!”
Tapi, sungguh saat itu saya menangis tapi
tetap diiringi tawa kita masing-masing. Mamang bakso lah yang menjadi saksinya
meski mungkin ia bingung sebab kami berdua menggunakan logat Makasssar.
“Masa kau tidak
kenali motor saya? Ini helm saya! Tas
saya! bisa-bisanya kau tidak kenali saya!” saya masih emosi.
Padahal saat itu
saya menggunakan rok yang sering saya pakai saat bertemu dengan dia, saya tipe
orang yang jarang gonta ganti tas, selalu pakai ransel kemanapun. Kerudung saya
pun adalah kerudung yang sering nongol tiap kali saya bikin snapgram. Bahkan,
helm saya adalah tergolong helm yang jarang ada samanya. Helm saya warnanya putih
dilapisi warna pink di pinggirnya dan ada sedikit gambar kartunnya. Alasannya
supaya helm saya mudah dikenali makanya saya membeli yang berbeda dari
kebanyakan orang, menyengaja tak membeli helm warna hitam. (Sebab nanti motor
saya susah saya cari kalau saya kebetulan parkir di basement mall, ya kan?)
Kemudian saya
tersadar, tak semua orang memperhatikan kita sedetail yang kita pikirkan bahkan
jika itu sahabat sendiri. Namun, justru kadang ada orang yang kita merasa bahwa
kita jauh darinya tetapi ia justru ingat setiap detail tentang kita. Dunia
memang ajaib, ya.
Hari itu sesuai
kesepakatan, kami makan di sebuah restoran yang menyajikan menu negara Jepang.
Sulit sekali di sini menemukan teman-teman yang senang makan sushi. Padahal,
sewaktu tinggal di Makassar dulu, semua teman-teman doyan sushi. Main ke rumah
teman, delivery nya ya sushi, sampai teman-teman punya banyak semacam kertas
diskon karena sering makan di restoran sushi tersebut. Alhasil, makan di sana
lagi karena kertas-kertas diskon tersebut.
Di tengah-tengah
melahap sushi, kami sempat berbicara mengenai apa yang terjadi. Tepatnya apa
yang terjadi pada dirinya? Terlalu banyak perubahan. Bahkan hampir semua
temannya mennyampaikan apa yang saya rasakan pula terhadap dirinya.
“SIlaturrahmi
itu penting, meski terkadang saya sendiri pun tak pernah saling kontakan lagi
itu bukan karena silaturrahmi terputus tetapi karena memang tidak ada sama
sekali keperluan saya dengan orang itu, begitupun sebaliknya.”
“Bukannya sama
saja berarti kamu berubah juga?”
“Waktu yang
mengubah segalanya.”
“Iya, benar
waktu.”
“Tapi kalau kau
bukan waktu yang membuat kau berubah! Tapi dia!”
Lalu terdengar
lagu di dalam ruang restoran,
“aku memang salah… “ begitu liriknya.
Sahabat saya ini seperti disindir abis-abisan oleh lagu ini.
“Jangan karena
kehadiran satu orang, membuat rusak hubunganmu dengan banyak orang.” Tambah saya
lagi.
Teman memang
selalu datang dan pergi. Siklus kehidupan membuatnya seperti itu. Teman-teman
lama pergi, muncul teman-teman baru. Tetapi, memang ada teman-teman yang selalu
ingin kita pertahankan, teman-teman yang kita jaga silaturrahminya, teman-teman
yang dengannya kita bisa saling menguatkan dan melewati waktu-waktu yang sulit,
yaitu teman-teman yang tak terhapus oleh waktu.
Terutamanya,
seorang teman dalam cerita ini, saya mempertahankan kamu. Tolong hargai saya. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar