28/08/17

Dilema Nadhira



Apa kabar, nak? Sedang sibuk apa sekarang?
Besok kalo ada waktu main ke rumah ibu, ya. Ibu kangen.

Aku menghela nafas.

Menunduk.

Mengamati kedua kakiku yang terus melangkah.

Ingin mengeluh, tapi kemudian malu. Malu pada mereka yang hidup dalam kesusahan.

Masalah perasaan, hal yang dinamis.

Ah, selalu begitu kata hati. Menghibur diri sendiri.

Akhirnya kuputuskan mengangkat wajahku. Terik mentari menyilaukan. Kupasang kacamataku, membentengi diri. Manusia pandai membuat benteng bahkan meski di dalam diri telah hancur berkeping-keping. Kupercepat langkahku.

***

Ibu memelukku. Erat sekali. Berharap ia tak mendengar degup jantungku yang tak beraturan. Ah, kapan terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah ini?

Ia melepas pelukannya, meraih tanganku. Ia menggandengku masuk ke dalam rumahnya. Tak kusangka di sana bukan hanya ada kami.

“Kenalkan, kenalkan. Ini Nadhira, calon menantuku.” Aku hanya diam mendengar pengumumannya yang seolah diutarakan kepada seluruh penjuru dunia. Ada perasaan tersipu dan kegalauan yang menerjangku bersamaan.

“Oh, ini ya, yang katanya disebut-sebut sebagai menantunya Ibu Melly.” Ujar ibu-ibu yang menggunakan dress berwarna hijau menyala. Aku hanya merespon dengan menggelengkan kepala sambil tersenyum. Berharap mereka mengerti penolakan halusku.

“Memang cantik, ya.” Tambah ibu-ibu yang menggunakan kacamata sambil tangannya meraih toples berisi kue coklat. Sementara itu, ibu-ibu yang lainnya hanya tersenyum dengan memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala.

Aku tak tahu bahwa hari itu ada pertemuan arisan di rumahnya. Ibu mengajakku duduk dan bergabung dengan teman-teman arisannya. Tatapanku menyapu sekeliling.

Aku hanya duduk di sana dengan pikiran yang terbang ke masa lalu tiap melihat foto-foto di dinding rumah itu.

“Gila ya, mendaki itu nggak segampang yang aku pikir!” Ujar dia sambil memainkan tali sepatunya. Saat itu kami tengah duduk di teras rumahnya.
“Lagian bintang lapangan ngapain sok-sok ke gunung segala, sih.” Balasku sambil cengingiran.
“Iya yah, ngapain juga yah.” Dia balas kebingungan. “Nggak akan mau lagi deh, itu pertama dan terakhir kali.” Katanya.
“Awas, ya!” Aku mendorong bahunya. Tak siap kudorong, ia jatuh ke samping. Dan kami berdua tertawa. “Cemen ah, lo!” teriakku sambil masih tertawa.

Meskipun begitu ia berhasil mencapai puncak dan mengambil gambar di sana.

“Ayo, Nadhira, diminum tehnya. Kalau mau yag dingin di kulkas ada es batu, sudah tahu tempatnya, bukan? Ambil sendiri saja ya kalau mau.” Ujar Ibu membuyarkan lamunanku.

“Iya, Bu.” Jawabku pelan.

Tetapi, dasar masa lalu, ia masih menarik-narik pikiranku. Aku tak bisa beranjak.

“Hallo, Ibu.” Ia memelukku sembari bercipika - cipiki seperti setiap kali kami bertemu. “Evannya ada?”
“Ada, dong. Di dalam, sedang ada temannya juga datang.”
“Oh, siapa?”
Ibu menggandengku masuk.
Seketika suasana di dalam rumah menjadi kaku.

“Vinsyan? Kamu ngapain di sini?” tanyaku. Ia gelagapan.
“Emang kenapa, Nadhira? Dia juga temanku. Dan ini rumahku, aku bisa mengundang siapapun temanku untuk main ke rumahku.” Evan menjawab pertanyaan yang kulayangkan pada Vinsyan.

Aku tertegun.

“Kok kamu nyolot?” tanyaku dengan sangat pelan. Dan Evan kini yang gelagapan.
“Nadhira, duduk dulu, ya. Ibu bikinin minuman dulu, ya.” Pinta Ibu.

“Enggak usah repot-repot, Bu. Nadhira cuma mau kasih ini, kemarin Evan bilang lagi pengen makan mie ayam Gobak Ijo. Katanya kakinya terkilir waktu main basket jadi nggak bisa kemana-mana.”

Kuletakkan bungkusan mie ayam itu di hadapannya. Lalu bersiap pergi.
“Kalau Vinsyan mau, makan saja juga. Aku beli tiga bungkus, kok.” Kataku kemudian langsung pergi.

***

Hari ini kuputuskan untuk bertemu dengannya. Tak peduli dandananku kini seperti apa, Evan tak akan pernah lagi mengatakan bahwa aku cantik.

“Evan, Ibu kamu itu jahat. Bawa aku di hadapan teman-temannya dan bilang kalau aku ini menantunya!” Aku menghela nafas.

“Aku bilang jahat, karena aku tahu bahwa itu selamanya hanya omong kosong, bahwa kenyataannya aku dan Evan tidak akan pernah bersatu lagi. Tidak akan pernah saling mencintai lagi. Tidak akan pernah bisa bersama-sama lagi.”

“Van, kenapa kamu diam saja?! Baguslah kalau kamu merasa bersalah. Kamu lebih menakutkan, lebih jahat dari siapapun yang aku kenal!” dan angin menyerbuku.

“Aku ingin pergi, tapi kamu seolah memenjarakan aku dalam lautan perasaan. Kamu pergi, dan semua perasaan yang aku punya itu layaknya sampah! Aku sendiri tak bisa menerjemahkan perasaanku kini seperti apa. Ibu kamu selalu membawa aku pada harapan yang tinggi, untuk apa sebut-sebut aku adalah calon menantunya?! Ya, selamanya hanya calon. Untuk apa sebut-sebut aku calon menantunya kalau bahkan kamu sendiri sudah tak bisa lagi kujamah, tak bisa sama sekali kusentuh?!”

Aku menahan gelombang air di mataku. Tanganku menyentuh pusaranya. Kurentangkan tanganku. Kurasakan tanganku menyentuh jiwanya.

Dua kali sudah aku jatuh. Ia membawa cintanya pergi untuk orang lain, serta merta ia membawa dirinya jauh dariku menuju Tuhannya.

***

“Nadhira, maafkan Ibu.”

Aku terkejut, pukul berapa ini? Sudah berapa lama aku tertidur di atas pusaranya? Tiba-tiba kusadari kehadiran ibunya di belakangku.

Ia duduk di dekatku, memelukku dari belakang.

“Maafkan Ibu.” Kubiarkan ia tetap memelukku. “Hari itu, ibu tahu, Vinsyan bukan teman biasa bagi Evan. Ibu tidak tahu mengapa Evan bisa bertingkah seperti itu. Tetapi, percayalah pada Ibu bahwa jauh sebelum hari itu, hanya ada namamu yang selalu di sebut-sebutnya, yang selalu ia ceritakan pada Ibu, yang selalu ia bangga-banggakan.”

“Andai bisa, Ibu ingin kamu menghapus ingatan di hari itu, agar yang kamu kenang tentangnya selalu hal-hal baik yang pernah kalian lewati bersama.”

“Ibu terlanjur menyukaimu. Terlanjur senang jika memiliki anak perempuan seperti Nadhira. Ibu menyebut kamu sebagi calon menantu bukan omong kosong, Nadhira.”

Aku tertegun. Kulepas pelukannya.

“Ibu selalu ingin kamu menjadi bagian keluarga kecil Ibu. Jika Evan mengkhianati kamu, bisakah kamu memberi kesempatan kepada adiknya untuk membahagiakan kamu? Untuk tak melakukan hal yang menyakitkan seperti yang pernah Evan lakukan padamu.”

“Adiknya?”

Dahiku mengernyit.



3 komentar: