Sepak terjangku
di dunia lain dari perfilman alias sebagai orang di belakang layar sudah cukup
lama. Sejak aku masih duduk di bangku SMA dulu. Awalnya hanya iseng untuk
sekedar cari pekerjaan sampingan agar tidak mengandalkan uang mama dan papa
terus. Maklum, modal untuk bergaya pada zaman SMA cukup menguras dompet. Zaman
SMA adalah zaman sekolah yang paling indah sekaligus rumit. Waktu zaman SMA
dulu kita punya gaya selangit tapi dompet kita menjerit. Berbeda ketika sudah
duduk di bangku kuliah. Gaya menjadi nomor dua atau nomor tiga atau malah
paling belakang. Harus kuakui bahwa bangku kuliah bukanlah bangku yang
main-main.
Meski begitu,
aku ketagihan dengan pekerjaanku sebagai penata artistik dalam suatu perfilman.
Selain itu, hal lain yang membuat aku bertahan karena mereka, yakni orang-orang
di belakang layar yang menyukseskan suatu film, mereka memuji pekerjaanku.
Katanya aku cekatan. Mereka memintaku untuk bergabung dengan project-project
mereka. Panggilan pekerjaanku tiada berhenti.
Ketika aku
memasuki bangku perkuliahan, tidak terasa, waktuku semakin padat. Jam istirahat
dan jalan-jalanku tersita habis-habisan. Awalnya aku ingin memutuskan untuk fokus
pada kuliahku. Tetapi, setelah aku mencoba untuk mengatur dan merapikan antara
jadwal pekerjaanku dengan kuliahku, semuanya bisa tertata dengan baik. Hal yang
menyenangkan lainnya juga sebagai mahasiswa baru, ATM-ku tidak pernah kosong.
Saldonya selalu tinggi. Ada kebanggaan tersendiri setiap kali melihat nominal
yang tertera di layar mesin ATM.
Karena aku sudah
cukup lama menapaki karir di bidang ini, aku cukup mengenal banyak orang-orang
besar di belakang suksesnya suatu film. Aku lebih tertarik bertukar pikiran
alias ngobrol dengan orang-orang itu ketimbang dengan aktor dan aktris yang
memerankan film tersebut.
Teman-temanku
banyak yang iri denganku, katanya mereka ingin juga punya pekerjaan sampingan
sepertiku karena aku bisa seringkali bertemu dengan artis-artis papan atas
maupun papan bawah. Aku agak sedih mendengar bahwa ini pekerjaan sampingan. Ya,
memang, pekerjaan utamaku tetaplah mahasiswa. Tetapi, aku berharap suatu saat
nanti karirku bukan hanya di bidang artistik terus menerus, tetapi bisa juga
menjadi penulis naskah, sutradara, bahkan produser. Untuk sekarang, aku memang
tengah menyusun sebuah naskah dan berencana suatu saat nanti mendiskusikannya
dengan orang yang tepat, maksudku dengan produser yang tepat.
Mungkin di
cerita yang berikut-berikutnya aku akan bercerita tentang bagaimana
keseharianku saat di tempat produksi film, bertemu dengan orang-orang hebat itu
maupun dengan para pemain. Tak semua artis enak diajak berdiskusi dan
bekerjasama. Terkadang, moodku bisa hancur karena mereka. Biasanya karena
keterlalumanjaan mereka. Tetapi, banyak juga artis-artis yang cukup enak untuk
diajak bekerjasama, karena membuat suatu film adalah hal yang menyenangkan
sekaligus melelahkan. Banyak menguras pikiran, tenaga, bahkan emosi. Salah
satunya adalah Teh Bella, iya, Laudya Chintya Bella. Teteh yang satu ini baik
dan enak sekali diajak kerjasama.
Oh iya, aku akan
mengenalkan kalian pada sosok produserku yang tampangnya sungguh biasa saja,
kumisan, kulitnya cukup hitam tetapi
giginya rapi, putih bersih, rambutnya lebat, tetapi tingginya tak lebih tinggi
dariku. Orangnya ramah dan menyenangkan. Eh, kadang-kadang agak menyebalkan,
tetapi ia punya aura wibawa yang luarbiasa, dan rasa tanggungjawab yang besar.
Produserku yang
satu ini cukup berbeda dari produser-produserku yang sebelumnya. Ia datang ke
lokasi naik motor bebek. Seringkali kemana-mana membawa gitar di punggungnya,
juga tripod lengkap dengan tasnya, dan beberapa barang-barang lainnya. Karena
usia kami yang kupikir tak beda jauh, aku jadi tak canggung untuk mengobrol
atau sekedar meledeknya.
“Gaya banget,
bawa gitar kemana-mana, bawa tripod pula.”
“Eh ini bukan
gaya, ini emang habis dipakai!”
“Dipakai tiap
hari gitu?”
“Iya.”
Duh gue diiyain aja, nih. Mesti biar cepet
balesnya jadi diiyain aja. Batinku.
Aku bersuara
kembali.
“Mas, bisa main
alat musik, ya?”
“Ya ini apa? Aku
tiap hari bawa gitar ya buat dipakai.”
“Oh iya iya.
Terus itu tripodnya juga dipakai tiap hari?”
“Ho oh.”
Duh, gua cuma dikasih ho oh, batinku
lagi jengkel.
“Nanti malam ke
lokasi lagi nggak?”
“Lah, kan, break
dulu 2 hari.”
“Oh,iya, lupa.
Jadi, nanti malam mau kemana?” aku enggak ngasih kode loh ya, lagi basa-basi
saja.
“Ya di rumah
aja, mau belajar. Besok UAS.”
“Oh iya, yah.
Mas, btw, Mas jurusan apa? Aku lupa terus mau nanya.”
“Pendidikan
matematika.”
Aku melongo.
“Ha?”
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa.
Besok UASnya matkul apa?”
“Kalkulus, teori
bilangan, logika matematika dan himpunan.”
Aku melongo
lagi.
“Ha?”
“Kenapa?”
“Enggak
apa-apa.” Gelengku. “Mau jadi guru matematika, ya?”
“Iya.
Pengennya.” Jawabnya serius.
Ah, produserku
yang satu ini memang beda! Ia terjun di antara musik, menyukai teater, bersedia
menjadi produser kami, meski ia tetap punya pekerjaan utama sepertiku yakni
menjadi seorang mahasiswa. Dia adalah produser yang bercita-cita untuk menjadi
seorang guru matematika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar