18/05/18

#MuslimahSinauProjectDay3 : Tukang Pamer?


Sumber gambar: Google

Siapa yang hari gini tidak punya akun instragram? Medsos yang satu ini nampaknya sering kali memicu pikiran negatif yang populer, yakni mudahnya menilai “pamer” seseorang. Tahukah kita bahwa zaman kini adalah zaman yang samar? Dimana semua hal tampak buram, sulit menentukan kebenaran dan kesalahan, tipu daya ada dimana-mana, banyak alasan yang bahkan alasan sebenarnya hanya karena nafsu semata. Soal niat pamer, bagi saya, niat adalah sesuatu yang abstrak, dimana letaknya di hati dan pikiran. Kita tidak pernah tahu isi hati dan pikiran orang lain. Mungkin saja kita mampu menebak, tetapi tidak selamanya tebakan kita itu benar.

Terkhusus instagram, tempat dimana semua orang mampu membagi moment apapun yang mereka inginkan dan tentu kepada siapapun yang mereka inginkan pula. Sudah sepahamnya, instragram akan menampung berbagai moment menyenangkan maupun menyedihkan yang kita sebagai follower suatu akun semestinya sudah “berlapang dada” dengan apapun yang following kita bagikan di linimasa.

Apa sulitnya berprasangka baik terhadap story orang lain? Bahkan saat mereka terang-terangan menggunakan diksi yang pamer. Anggap saja mereka tidak pandai atau salah memilih diksi. Apakah membagi moment tengah holiday, naik gunung, punya wajah rupawan, baru saja membeli barang baru, menceritakan isi kulkasnya yang dipenuhi makanan, tengah memasak untuk suaminya, tengah melukis, membagi foto anak-anak mereka yang lucu, menceritakan bisnisnya atau berpenghasilan besar, memosting makanan enak, dan lain sebagainya, semudah itu dikatakan bahwa mereka tengah pamer? Please, people. Hidup tidak sesederhana itu untuk menjudge bahwa seseorang “tukang pamer”.

Contohnya, saat seseorang membagikan moment saat ia tengah menyantap hidangan yang “kelihatannya mahal.” Netizen tanpa babibu menjudge-nya tukang pamer atas makanannya yang “terlihat mahal”. Padahal realitanya, harga makanan tersebut sama dengan harga pecel lele yang biasa dimakannya di belakang kampus. Rasa enak dan bentuk mewah tidak perlu mahal, bukan? Pintar-pintarnya saja dia mengatur duit dan cari menu makan.

Bisa saja seseorang yang terlihat makan di restoran mahal, lantas ia di-judge bahwa ia tajir dan hobi foya-foya. Well, bisa saja hari itu ia sedang ingin membahagiakan dirinya sebulan sekali untuk makan di restoran mahal yang di dalamnya ada makanan kesukaan dia, setelah hari itu ia kembali seperti biasanya makan di warteg sekitar kampusnya. Kita tidak pernah tahu, so people please don’t be sok tahu.

Namun, ada satu nasehat yang senantiasa kita perlu ingat.

Ada hati yang perlu dijaga atas kebahagiaan-kebahagiaan kita, karenanya berhati-hatilah dalam membagikannya di linimasa. kehati-hatian menjaga perasaan orang lain lebih utama daripada kebahagiaan itu sendiri. – Novie Ocktavia

2 komentar:

  1. Waduuh, beberapa waktu lalu aku sempet bilang aku bakal berhenti main ig. Eaalah , belum sebulan udah install lagi xD

    Nyatanya emang harus pinter-pinter milih following sih ,kalo ndak suka aku unfoll aja sekalian drpd nambah risik , ngedumel trus , dll . Yah meski ada yg jd marah krn temen diunfoll , tp kesehatan sendiri harus diutamakan dulu wkwkwk

    acipah.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku sudah niat untuk berhenti main ig sejak zaman entah berantah, tapi sampai sekarang belum juga bisa terealisasikan :'D

      Bener! pinter-pinternya kita saja terhadap apa yang ingin kita follow dan harus sadar juga bahwa resikonya adalah kita akan melihat apa yang orang tersebut bagikan ke linimasa. Jadi, mari kencangkan positive thinkingnya! Jangan kasih kendor! :'D

      Hapus