Sumber gambar: Google
Siapa yang hari
gini tidak punya akun instragram? Medsos yang satu ini nampaknya sering kali
memicu pikiran negatif yang populer, yakni mudahnya menilai “pamer” seseorang.
Tahukah kita bahwa zaman kini adalah zaman yang samar? Dimana semua hal tampak
buram, sulit menentukan kebenaran dan kesalahan, tipu daya ada dimana-mana,
banyak alasan yang bahkan alasan sebenarnya hanya karena nafsu semata. Soal niat
pamer, bagi saya, niat adalah sesuatu yang abstrak, dimana letaknya di hati dan
pikiran. Kita tidak pernah tahu isi hati dan pikiran orang lain. Mungkin saja
kita mampu menebak, tetapi tidak selamanya tebakan kita itu benar.
Terkhusus
instagram, tempat dimana semua orang mampu membagi moment apapun yang mereka inginkan dan tentu kepada siapapun yang
mereka inginkan pula. Sudah sepahamnya, instragram akan menampung berbagai moment menyenangkan maupun menyedihkan
yang kita sebagai follower suatu akun semestinya sudah “berlapang dada” dengan
apapun yang following kita bagikan di linimasa.
Apa sulitnya
berprasangka baik terhadap story
orang lain? Bahkan saat mereka terang-terangan menggunakan diksi yang pamer.
Anggap saja mereka tidak pandai atau salah memilih diksi. Apakah membagi moment
tengah holiday, naik gunung, punya
wajah rupawan, baru saja membeli barang baru, menceritakan isi kulkasnya yang
dipenuhi makanan, tengah memasak untuk suaminya, tengah melukis, membagi foto
anak-anak mereka yang lucu, menceritakan bisnisnya atau berpenghasilan besar,
memosting makanan enak, dan lain sebagainya, semudah itu dikatakan bahwa mereka
tengah pamer? Please, people. Hidup
tidak sesederhana itu untuk menjudge bahwa seseorang “tukang pamer”.
Contohnya, saat
seseorang membagikan moment saat ia
tengah menyantap hidangan yang “kelihatannya mahal.” Netizen tanpa babibu
menjudge-nya tukang pamer atas makanannya yang “terlihat mahal”. Padahal
realitanya, harga makanan tersebut sama dengan harga pecel lele yang biasa dimakannya
di belakang kampus. Rasa enak dan bentuk mewah tidak perlu mahal, bukan?
Pintar-pintarnya saja dia mengatur duit dan cari menu makan.
Bisa saja
seseorang yang terlihat makan di restoran mahal, lantas ia di-judge bahwa ia
tajir dan hobi foya-foya. Well, bisa
saja hari itu ia sedang ingin membahagiakan dirinya sebulan sekali untuk makan
di restoran mahal yang di dalamnya ada makanan kesukaan dia, setelah hari itu
ia kembali seperti biasanya makan di warteg sekitar kampusnya. Kita tidak
pernah tahu, so people please don’t be
sok tahu.
Namun, ada satu
nasehat yang senantiasa kita perlu ingat.
“Ada hati yang perlu dijaga atas
kebahagiaan-kebahagiaan kita, karenanya berhati-hatilah dalam membagikannya di linimasa. kehati-hatian menjaga perasaan orang lain
lebih utama daripada kebahagiaan itu sendiri.”
– Novie Ocktavia
Waduuh, beberapa waktu lalu aku sempet bilang aku bakal berhenti main ig. Eaalah , belum sebulan udah install lagi xD
BalasHapusNyatanya emang harus pinter-pinter milih following sih ,kalo ndak suka aku unfoll aja sekalian drpd nambah risik , ngedumel trus , dll . Yah meski ada yg jd marah krn temen diunfoll , tp kesehatan sendiri harus diutamakan dulu wkwkwk
acipah.com
Aku sudah niat untuk berhenti main ig sejak zaman entah berantah, tapi sampai sekarang belum juga bisa terealisasikan :'D
HapusBener! pinter-pinternya kita saja terhadap apa yang ingin kita follow dan harus sadar juga bahwa resikonya adalah kita akan melihat apa yang orang tersebut bagikan ke linimasa. Jadi, mari kencangkan positive thinkingnya! Jangan kasih kendor! :'D