23/05/18

#MuslimahSinauProjectDay8 : Cinta Pertama


Sumber gambar : My Gallery

Ayah,

Cinta pertamaku.

Beliau seorang Ayah yang tak banyak berkomentar, meski saya belum mampu berpenampilan sebaik-baiknya muslimah, seperti yang diinginkannya. Ia membiarkan saya untuk belajar, memperbaiki lingkungan, serta bergaul dan berpenampilan dengan cara yang saya inginkan. Beliau menunggu, menunggu saya untuk menyadari kesalahan-kesalahan saya dalam berpenampilan maupun bergaul.

Beliau memberikan kepercayaan penuh kepada saya sebab sejak saya berusia lima belas tahun, saya diperbolehkannya pulang hingga pukul sembilan malam dengan alasan yang jelas, sementara anak-anak seusia saya di lingkungan saya, mereka tak semuanya mendapatkan izin itu. Beliau percaya, saya akan menjaga diri saya, saya akan pulang ke rumah, saya akan mencium tangannya, saya akan mengerjakan tugas-tugas saya.

Beliau menolak membelikan barang baru, jika barang yang lama masih dapat digunakan. Namun, beliau mengizinkan saya membeli barang yang mahal dengan syarat barang tersebut mampu bertahan hingga beberapa tahun. Prinsip tersebut mengajarkan saya untuk pandai menjaga barang-barang yang saya miliki, berapapun harganya.

Beliau tak pernah terlihat marah. Jangankan main fisik, bersuara keras saja jarang sekali terdengar. Sekali saya melihat senyum kemarahan pada bibirnya, saat beliau menceritakan soal orang-orang proyek yang berusaha menyuapnya demi berubahnya angka anggaran dalam data yang ditemukan. Bahkan saat kedua kalinya saya menghilangkan ponsel pemberiannya, tak ada sepatah katapun dari bibirnya yang menyalahkan saya. Beliau tetap tenang.

Beliau adalah Ayah yang selalu ada, selalu mengantar saya ke sekolah bahkan jika hari Sabtu, ia akan menghentikan permainan tenisnya demi mengantar saya ke sekolah. Ia juga yang menemani saya nonton ke bioskop untuk pertama kali, mengantar ke pesta ulangtahun teman, atau bahkan ketika saya tersesat, saya hanya perlu mengatakan nama tempatnya, ia akan datang menjemput.

Beliau menyempatkan diri untuk menjenguk dan menjaga saya di rumah sakit, di sela-sela jam terbangnya yang padat. Jika saja saat itu saya tahu bahwa betapa banyaknya waktu kerjanya yang ia hamburkan hanya untuk menyempatkan diri menjenguk saya, betapa ia harus tetap berkutat pada laptopnya sementara saya terbaring sakit di sampingnya, saya berharap beliau tahu begitu banyaknya ucapan terima kasih yang ingin saya haturkan, betapa banyak pelukan yang ingin saya lakukan, betapa banyak hal-hal menyenangkan yang ingin saya lakukan bersamanya, betapa menyesalnya begitu banyak waktu yang tak saya manfaatkan kala jauh sebelum saya tiba di perantauan.

Ah, betapa ngefans-nya saya pada Ayah satu itu! Betapa groginya tiap kali menghubungi beliau untuk meminta uang, karena pasti dikasih lebih. Betapa bingungnya kalau ngobrol di telpon, karena beliau sok stay cool! Saya tanya “kenapa?” dijawab “kenapa?” juga. Duh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar