Sumber gambar : My Gallery
Ayah,
Cinta pertamaku.
Beliau seorang
Ayah yang tak banyak berkomentar, meski saya belum mampu berpenampilan
sebaik-baiknya muslimah, seperti yang diinginkannya. Ia membiarkan saya untuk
belajar, memperbaiki lingkungan, serta bergaul dan berpenampilan dengan cara
yang saya inginkan. Beliau menunggu, menunggu saya untuk menyadari
kesalahan-kesalahan saya dalam berpenampilan maupun bergaul.
Beliau
memberikan kepercayaan penuh kepada saya sebab sejak saya berusia lima belas
tahun, saya diperbolehkannya pulang hingga pukul sembilan malam dengan alasan
yang jelas, sementara anak-anak seusia saya di lingkungan saya, mereka tak semuanya
mendapatkan izin itu. Beliau percaya, saya akan menjaga diri saya, saya akan
pulang ke rumah, saya akan mencium tangannya, saya akan mengerjakan tugas-tugas
saya.
Beliau menolak
membelikan barang baru, jika barang yang lama masih dapat digunakan. Namun,
beliau mengizinkan saya membeli barang yang mahal dengan syarat barang tersebut
mampu bertahan hingga beberapa tahun. Prinsip tersebut mengajarkan saya untuk
pandai menjaga barang-barang yang saya miliki, berapapun harganya.
Beliau tak
pernah terlihat marah. Jangankan main fisik, bersuara keras saja jarang sekali
terdengar. Sekali saya melihat senyum kemarahan pada bibirnya, saat beliau
menceritakan soal orang-orang proyek yang berusaha menyuapnya demi berubahnya
angka anggaran dalam data yang ditemukan. Bahkan saat kedua kalinya saya
menghilangkan ponsel pemberiannya, tak ada sepatah katapun dari bibirnya yang
menyalahkan saya. Beliau tetap tenang.
Beliau adalah
Ayah yang selalu ada, selalu mengantar saya ke sekolah bahkan jika hari Sabtu,
ia akan menghentikan permainan tenisnya demi mengantar saya ke sekolah. Ia juga
yang menemani saya nonton ke bioskop untuk pertama kali, mengantar ke pesta
ulangtahun teman, atau bahkan ketika saya tersesat, saya hanya perlu mengatakan
nama tempatnya, ia akan datang menjemput.
Beliau menyempatkan
diri untuk menjenguk dan menjaga saya di rumah sakit, di sela-sela jam
terbangnya yang padat. Jika saja saat itu saya tahu bahwa betapa banyaknya
waktu kerjanya yang ia hamburkan hanya untuk menyempatkan diri menjenguk saya,
betapa ia harus tetap berkutat pada laptopnya sementara saya terbaring sakit di
sampingnya, saya berharap beliau tahu begitu banyaknya ucapan terima kasih yang
ingin saya haturkan, betapa banyak pelukan yang ingin saya lakukan, betapa
banyak hal-hal menyenangkan yang ingin saya lakukan bersamanya, betapa
menyesalnya begitu banyak waktu yang tak saya manfaatkan kala jauh sebelum saya
tiba di perantauan.
Ah, betapa
ngefans-nya saya pada Ayah satu itu! Betapa groginya tiap kali menghubungi
beliau untuk meminta uang, karena pasti dikasih lebih. Betapa bingungnya kalau
ngobrol di telpon, karena beliau sok stay
cool! Saya tanya “kenapa?” dijawab “kenapa?” juga. Duh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar