Kalau ngobrol tentang seputar cerita masa sekolah,
jelas buanyaaaaak banget. Pada zaman duduk di bangku sekolah menengah pertama
dimana kala itu saya baru saja pindah rumah dari Bogor ke Makassar, Sulawesi
Selatan. Usia yang baru beranjak remaja itu membuat saya tidak menyadari adanya
adaptasi yang cukup besar dalam hidup saya terkait dengan bahasa dan budaya.
Ketika duduk di bangku kelas satu, seorang teman memaksa untuk meminjam pensil
warna saya lantas belum sempat saya ijinkan dia lalu berkata, “Kubombe kau.”
Hah? Ternyata dulu itu begitu banyak miscommunication terjadi karena saya
tidak memahami bahasa mereka. Bombe
itu berarti musuh, dia mengajak saya
bermusuhan. Meskipun sebenarnya dia hanya bercanda, tetapi jadinya tidak lucu
karena saya tidak paham apa yang dia bicarakan (hahaha). Di waktu lain pernah
juga sewaktu pulang sekolah, seorang teman bertanya, “Kau pulang naik apa, Nina?” Saya lupa saya menjawab apa, tapi
kemudian saya juga bertanya balik padanya dan dia menjawab, “Kalau saya naik pete-pete.”
Hah? Lagi-lagi saya harus berpikir keras. Mungkin
mereka juga sulit mengartikannya karena tak biasa dengan istilah lain. Beberapa
hari kemudian saya baru tahu kalau pete-pete
itu adalah angkot. Ternyata saat baru
kelas satu sekolah menengah pertama banyak sekali teman-teman saya yang sudah
terbiasa naik angkot. Kayak hal yang biasa saja gitu, lho. Nah, saya itu tidak
biasa naik angkot. Selama di sekolah dasar, saya baru dua kali naik angkot
tanpa orangtua. Pertama, waktu sama kakak saya, kedua, waktu sama teman saya.
Itu pun naik angkot karena tidak dijemput-jemput. Akhirnya waktu awal-awal saya
sering pulang naik becak dari sekolah sampai rumah, agak jauh dan jelas
bayarnya lebih mahal dari naik angkot. Karena saya cuma dikasih uang untuk naik
angkot, jadi kalau naik becak ya harus pakai uang tabungan saya sendiri.
Waktu itu, kebetulan saya juga satu sekolah dan
seangkatan dengan salah satu jebolan Idola Cilik yang dulu setiap hari tayang
di RCTI. Kebetulan juga salah seorang sahabat saya di Bogor ngefans berat
dengan penyanyi cilik ini. Lucunya waktu itu sahabat saya membuat surat bertulis
tangan untuk penyanyi ini yang dia kirimkan ke rumah saya lewat kantor pos
untuk nantinya saya bisa memberikan surat tersebut kepada penyanyi tersebut.
Dengan sok berani datang ke kelasnya dan menyampaikan surat tersebut, lol.
“Salam balik”, ujar penyanyi cilik tersebut. Ah, setidaknya saya sudah
menyenangkan hati teman saya begitu saya mengabari dia bahwa sang penyanyi
telah menerima suratnya dan menitip salam balik untuknya. Sekarang, saling
bersurat lewat pos mulai jarang dan menunggu pesan dari seseorang seolah telah
kehilangan esensi perasaan berdebar yang seperti dulunya.
Di kelas dua, teman-teman sekelas saya dirombak. Saat
itu saya dipertemukan dengan tiga orang yang akhirnya menjadi teman akrab saya
karena kami sama-sama seorang Belieber
(sebutan fans Justin Bieber). Kami berempat bahkan menabung setiap hari dan ada
buku catatan tabungannya demi untuk membeli buku biografi Justin Bieber
berhadiah poster, LOL! Buku tersebut memuat lirik lagu dua album Justin Bieber.
Setiap hari dibawa ke sekolah, bila jam kosong kami menyanyi bersama sambil
membuka buku tersebut, LOL! Sampai saat ini buku tersebut disimpan di salah
satu dari kami berempat.
Sekarang saya berpikir kenapa dulu bisa sesuka itu
sama Justin Bieber, ya. Mungkin memang pada usia segitu, para remaja sedang membutuhkan
sosok panutan. Salah-salah diberi pemahaman, mereka malah akan mengidolakan
orang yang salah, yang sebenarnya masih banyak orang lain yang lebih baik untuk
bisa dijadikan panutan dan inspirasi.
Kebiasaan lain yang kami lakukan adalah setiap hari Jum’at
nonton film horror. Karena saat itu belum booming
yang namanya download film (atau mungkin kami saja yang belum paham caranya),
bila stok film kami habis, sebelum pulang kami akan ke mall dulu hanya untuk
beli kaset CD film horror. Lalu, masih dengan seragam sekolah, kami pergi ke
rumah salah satu teman kami yang rumahnya memang seperti sudah dijadikan base camp bagi kami. Di rumahnya itu,
ada kamar besar untuk tamu dengan fasilitas tempat tidur yang besar, TV, dan
pemutar CD. Di sanalah kami akan menonton film horror tersebut dengan mematikan
lampu dan menutup rapat gorden demi menambah sensasi menyeramkan saat nonton.
Persahabatan kami sungguh tak terpisahkan karena kami
bahkan mendaftar sekolah menengah atas selalu sama-sama, coba daftar ke sekolah
itulah, ke sekolah inilah. Benar-benar bersama-sama. Pada akhirnya kami
diterima di satu sekolah menengah atas yang sama, akan tetapi berbeda-beda
kelas. Pada awalnya, kami masih bermain bersama, namun lama-kelamaan karena
perbedaan kelas dan jadwal itulah yang akhirnya masing-masing kami menemukan
teman baru dan membentuk kelompok pertemanan yang baru. Dari kelompok
pertemanan yag baru itulah membentuk berbagai cerita yang baru juga. Pada sekolah
menengah atas ini saya sudah tidak perlu beradaptasi lebih keras lagi. Saya
sudah mulai mengerti bahasa mereka, tetapi tetap saja saya sulit menyamakan
nada dan logatnya yang terlampau agak keras dan cepat. Ah, yang penting saya
sudah paham jika mereka membicarakan sesuatu atau menertawakan sesuatu!
Tentu saja cerita masa sekolah tak akan cukup untuk
diceritakan di sini. Tetapi, saat-saat sekolah adalah saat-saat yang
menyenangkan bagi saya. Saya punya teman-teman yang memperlakukan saya dengan
amat baik, kakak-kakak kelas yang merangkul saya dengan baik juga, pun
adik-adik kelas yang sopan dan mau menerima saya dengan baik. Belum lagi, saya
punya guru-guru yang sudah seperti orangtua sendiri. Ada satu orang guru yang
awalnya saya tidak mengenalnya, tetapi firasat saya berkata begini, ‘kenapa hati saya merasa suatu saat saya
akan kenal dan dekat sekali dengan guru ini.’ Sekitar setahun kemudian saya
kenal dengan guru ini bahkan beliau banyak menawari saya berbagai macam acara,
pernah juga mengantar saya pulang ke rumah, saya juga pernah mengantar
anak-anaknya yang ngambek di sekolah dan tidak mau pulang, “Ya sudah ibu pulang
duluan, nanti kamu pulang sama kakak-kakak ini.” Karena guru ini akrab dengan
penjaga perpustakaan sekolah, maka keakraban ini menyerempet keakraban saya
pula dengan penjaga perpustakaan yang berakhir dengan kemudahan akses saya
terhadap perpustakaan sekolah karena sang penjaga perpustakaan sangat percaya
pada saya, hehe.
Firasat saya, bukan itu saja, saat masih duduk di
bangku sekolah menengah pertama, ketika pulang sekolah saya sering melihat
seorang perempuan yang usianya lebih tua dari saya karena dia berseragam putih
abu-abu sedang menunggu angkot di pinggir jalan, dalam hati saya berkata, ‘entah bagaimana caranya suatu saat saya
akan akrab sekali dengan perempuan ini.’ Dan benar saja, saya lalu satu
sekolah menengah atas dengannya, dia seolah menjadi tameng bagi saya karena
kakak-kakak kelas mengira saya adalah adiknya sehingga saat itu seperti tak ada
kakak-kakak kelas yang akan macam-macam pada saya, hal ini merambat pada
keakraban saya dengan salah satu guru yang lainnya yang merupakan guru kesukaan
kakak kelas perempuan ini, anggaplah begitu. Bahkan waktu masih menjadi murid
baru, guru tersebut beberapa kali mengantar saya dan teman-teman untuk pulang
dengannya karena rumah kami satu arah, saat murid-murid lain mengira guru
tersebut keras, saya yang sudah mengenali karakter aslinya lebih dulu menjadi
tak se-deg-degan itu ketika beliau
mengajar. Entah bagaimana, saya merasa banyak sekali keberuntungan yang terjadi
saat masa sekolah di samping banyak juga sebenarnya hal yang saya sesali,
bahkan saat itu ketua OSIS sekolah saya adalah tetangga saya yang sering shalat
di masjid berjamaah dengan ayah saya, sehingga pernah suatu kali saya memohon
bantuannya untuk membujuk ayah saya memberi izin pada saya untuk menginap di
luar karena ada suatu acara sekolah. LOL.
Satu lagi yang paling saya ingat, saya dan teman-teman
komunitas menulis pernah mengejar seorang penulis yang sedang berkunjung ke Gramedia.
Sepulang usai bertemu, kami yang belum terlalu mengenal satu sama lain
tiba-tiba memutuskan untuk mampir makan di McD. Kami berempat duduk dalam satu
meja, dua orang lainnya memutuskan mewakili untuk memesan ke kasir, saya dan satu
orang lainnya memutuskan untuk membuka percakapan. Ia memperkenalkan namanya
dan jurusan kuliahnya, begitu saya menyebutkan nama dan mengatakan bahwa saya
masih duduk di sekolah menengah pertama dia terkejut. Entah, mungkin waktu itu
wajah saya terlalu dewasa apa gimana jadi awalnya dia pikir saya juga sudah
kuliah seperti mereka semua. Lebih mengejutkan lagi karena dia ternyata alumni
sekolah saya. Ya ampun! Betapa sempitnya dunia!
Hari demi hari banyak obrolan dan diskusi yang mengalir
sampai tiba-tiba saja saya sudah masuk sekolah menengah atas yang dimana
ternyata dia juga alumni dari sekolah tersebut, *tepok jidat dulu*. Hal yang
mengejutkan kembali datang karena dia ternyata mantan ketua OSIS di sekolah
saya tersebut. Pantas saja setiap dia menyambangi saya di sekolah, mulai dari
satpam, guru, dan kakak-kakak kelas saya sangat akrab dengannya, ternyata dia
adalah mantan ketua OSIS di sekolah tersebut.
Begitulah masa-masa sekolah saya yang lebih banyak
mainnya ketimbang belajarnya, tapi tenang saja, karena urusan akademik bagi
saya tetap nomor wahid, hehe.
Bandung, 21 April 2020
Maaf ceritanya kepanjangan,
Tapi tetap dibaca sampai habis juga, kan? Hehe
Best friendnya rizdha
BalasHapusBukan Rizdha, tapi Rifdah. hehe
Hapus