21/04/20

#AprilProduktifDay20 : Masa-Masa di Sekolah


Kalau ngobrol tentang seputar cerita masa sekolah, jelas buanyaaaaak banget. Pada zaman duduk di bangku sekolah menengah pertama dimana kala itu saya baru saja pindah rumah dari Bogor ke Makassar, Sulawesi Selatan. Usia yang baru beranjak remaja itu membuat saya tidak menyadari adanya adaptasi yang cukup besar dalam hidup saya terkait dengan bahasa dan budaya. Ketika duduk di bangku kelas satu, seorang teman memaksa untuk meminjam pensil warna saya lantas belum sempat saya ijinkan dia lalu berkata, “Kubombe kau.”

Hah? Ternyata dulu itu begitu banyak miscommunication terjadi karena saya tidak memahami bahasa mereka. Bombe itu berarti musuh, dia mengajak saya bermusuhan. Meskipun sebenarnya dia hanya bercanda, tetapi jadinya tidak lucu karena saya tidak paham apa yang dia bicarakan (hahaha). Di waktu lain pernah juga sewaktu pulang sekolah, seorang teman bertanya, “Kau pulang naik apa, Nina?” Saya lupa saya menjawab apa, tapi kemudian saya juga bertanya balik padanya dan dia menjawab, “Kalau saya naik pete-pete.”

Hah? Lagi-lagi saya harus berpikir keras. Mungkin mereka juga sulit mengartikannya karena tak biasa dengan istilah lain. Beberapa hari kemudian saya baru tahu kalau pete-pete itu adalah angkot. Ternyata saat baru kelas satu sekolah menengah pertama banyak sekali teman-teman saya yang sudah terbiasa naik angkot. Kayak hal yang biasa saja gitu, lho. Nah, saya itu tidak biasa naik angkot. Selama di sekolah dasar, saya baru dua kali naik angkot tanpa orangtua. Pertama, waktu sama kakak saya, kedua, waktu sama teman saya. Itu pun naik angkot karena tidak dijemput-jemput. Akhirnya waktu awal-awal saya sering pulang naik becak dari sekolah sampai rumah, agak jauh dan jelas bayarnya lebih mahal dari naik angkot. Karena saya cuma dikasih uang untuk naik angkot, jadi kalau naik becak ya harus pakai uang tabungan saya sendiri.

Waktu itu, kebetulan saya juga satu sekolah dan seangkatan dengan salah satu jebolan Idola Cilik yang dulu setiap hari tayang di RCTI. Kebetulan juga salah seorang sahabat saya di Bogor ngefans berat dengan penyanyi cilik ini. Lucunya waktu itu sahabat saya membuat surat bertulis tangan untuk penyanyi ini yang dia kirimkan ke rumah saya lewat kantor pos untuk nantinya saya bisa memberikan surat tersebut kepada penyanyi tersebut. Dengan sok berani datang ke kelasnya dan menyampaikan surat tersebut, lol. “Salam balik”, ujar penyanyi cilik tersebut. Ah, setidaknya saya sudah menyenangkan hati teman saya begitu saya mengabari dia bahwa sang penyanyi telah menerima suratnya dan menitip salam balik untuknya. Sekarang, saling bersurat lewat pos mulai jarang dan menunggu pesan dari seseorang seolah telah kehilangan esensi perasaan berdebar yang seperti dulunya.

Di kelas dua, teman-teman sekelas saya dirombak. Saat itu saya dipertemukan dengan tiga orang yang akhirnya menjadi teman akrab saya karena kami sama-sama seorang Belieber (sebutan fans Justin Bieber). Kami berempat bahkan menabung setiap hari dan ada buku catatan tabungannya demi untuk membeli buku biografi Justin Bieber berhadiah poster, LOL! Buku tersebut memuat lirik lagu dua album Justin Bieber. Setiap hari dibawa ke sekolah, bila jam kosong kami menyanyi bersama sambil membuka buku tersebut, LOL! Sampai saat ini buku tersebut disimpan di salah satu dari kami berempat.

Sekarang saya berpikir kenapa dulu bisa sesuka itu sama Justin Bieber, ya. Mungkin memang pada usia segitu, para remaja sedang membutuhkan sosok panutan. Salah-salah diberi pemahaman, mereka malah akan mengidolakan orang yang salah, yang sebenarnya masih banyak orang lain yang lebih baik untuk bisa dijadikan panutan dan inspirasi.

Kebiasaan lain yang kami lakukan adalah setiap hari Jum’at nonton film horror. Karena saat itu belum booming yang namanya download film (atau mungkin kami saja yang belum paham caranya), bila stok film kami habis, sebelum pulang kami akan ke mall dulu hanya untuk beli kaset CD film horror. Lalu, masih dengan seragam sekolah, kami pergi ke rumah salah satu teman kami yang rumahnya memang seperti sudah dijadikan base camp bagi kami. Di rumahnya itu, ada kamar besar untuk tamu dengan fasilitas tempat tidur yang besar, TV, dan pemutar CD. Di sanalah kami akan menonton film horror tersebut dengan mematikan lampu dan menutup rapat gorden demi menambah sensasi menyeramkan saat nonton.

Persahabatan kami sungguh tak terpisahkan karena kami bahkan mendaftar sekolah menengah atas selalu sama-sama, coba daftar ke sekolah itulah, ke sekolah inilah. Benar-benar bersama-sama. Pada akhirnya kami diterima di satu sekolah menengah atas yang sama, akan tetapi berbeda-beda kelas. Pada awalnya, kami masih bermain bersama, namun lama-kelamaan karena perbedaan kelas dan jadwal itulah yang akhirnya masing-masing kami menemukan teman baru dan membentuk kelompok pertemanan yang baru. Dari kelompok pertemanan yag baru itulah membentuk berbagai cerita yang baru juga. Pada sekolah menengah atas ini saya sudah tidak perlu beradaptasi lebih keras lagi. Saya sudah mulai mengerti bahasa mereka, tetapi tetap saja saya sulit menyamakan nada dan logatnya yang terlampau agak keras dan cepat. Ah, yang penting saya sudah paham jika mereka membicarakan sesuatu atau menertawakan sesuatu!

Tentu saja cerita masa sekolah tak akan cukup untuk diceritakan di sini. Tetapi, saat-saat sekolah adalah saat-saat yang menyenangkan bagi saya. Saya punya teman-teman yang memperlakukan saya dengan amat baik, kakak-kakak kelas yang merangkul saya dengan baik juga, pun adik-adik kelas yang sopan dan mau menerima saya dengan baik. Belum lagi, saya punya guru-guru yang sudah seperti orangtua sendiri. Ada satu orang guru yang awalnya saya tidak mengenalnya, tetapi firasat saya berkata begini, ‘kenapa hati saya merasa suatu saat saya akan kenal dan dekat sekali dengan guru ini.’ Sekitar setahun kemudian saya kenal dengan guru ini bahkan beliau banyak menawari saya berbagai macam acara, pernah juga mengantar saya pulang ke rumah, saya juga pernah mengantar anak-anaknya yang ngambek di sekolah dan tidak mau pulang, “Ya sudah ibu pulang duluan, nanti kamu pulang sama kakak-kakak ini.” Karena guru ini akrab dengan penjaga perpustakaan sekolah, maka keakraban ini menyerempet keakraban saya pula dengan penjaga perpustakaan yang berakhir dengan kemudahan akses saya terhadap perpustakaan sekolah karena sang penjaga perpustakaan sangat percaya pada saya, hehe.

Firasat saya, bukan itu saja, saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, ketika pulang sekolah saya sering melihat seorang perempuan yang usianya lebih tua dari saya karena dia berseragam putih abu-abu sedang menunggu angkot di pinggir jalan, dalam hati saya berkata, ‘entah bagaimana caranya suatu saat saya akan akrab sekali dengan perempuan ini.’ Dan benar saja, saya lalu satu sekolah menengah atas dengannya, dia seolah menjadi tameng bagi saya karena kakak-kakak kelas mengira saya adalah adiknya sehingga saat itu seperti tak ada kakak-kakak kelas yang akan macam-macam pada saya, hal ini merambat pada keakraban saya dengan salah satu guru yang lainnya yang merupakan guru kesukaan kakak kelas perempuan ini, anggaplah begitu. Bahkan waktu masih menjadi murid baru, guru tersebut beberapa kali mengantar saya dan teman-teman untuk pulang dengannya karena rumah kami satu arah, saat murid-murid lain mengira guru tersebut keras, saya yang sudah mengenali karakter aslinya lebih dulu menjadi tak se-deg-degan itu ketika beliau mengajar. Entah bagaimana, saya merasa banyak sekali keberuntungan yang terjadi saat masa sekolah di samping banyak juga sebenarnya hal yang saya sesali, bahkan saat itu ketua OSIS sekolah saya adalah tetangga saya yang sering shalat di masjid berjamaah dengan ayah saya, sehingga pernah suatu kali saya memohon bantuannya untuk membujuk ayah saya memberi izin pada saya untuk menginap di luar karena ada suatu acara sekolah. LOL.

Satu lagi yang paling saya ingat, saya dan teman-teman komunitas menulis pernah mengejar seorang penulis yang sedang berkunjung ke Gramedia. Sepulang usai bertemu, kami yang belum terlalu mengenal satu sama lain tiba-tiba memutuskan untuk mampir makan di McD. Kami berempat duduk dalam satu meja, dua orang lainnya memutuskan mewakili untuk memesan ke kasir, saya dan satu orang lainnya memutuskan untuk membuka percakapan. Ia memperkenalkan namanya dan jurusan kuliahnya, begitu saya menyebutkan nama dan mengatakan bahwa saya masih duduk di sekolah menengah pertama dia terkejut. Entah, mungkin waktu itu wajah saya terlalu dewasa apa gimana jadi awalnya dia pikir saya juga sudah kuliah seperti mereka semua. Lebih mengejutkan lagi karena dia ternyata alumni sekolah saya. Ya ampun! Betapa sempitnya dunia!

Hari demi hari banyak obrolan dan diskusi yang mengalir sampai tiba-tiba saja saya sudah masuk sekolah menengah atas yang dimana ternyata dia juga alumni dari sekolah tersebut, *tepok jidat dulu*. Hal yang mengejutkan kembali datang karena dia ternyata mantan ketua OSIS di sekolah saya tersebut. Pantas saja setiap dia menyambangi saya di sekolah, mulai dari satpam, guru, dan kakak-kakak kelas saya sangat akrab dengannya, ternyata dia adalah mantan ketua OSIS di sekolah tersebut. 

Begitulah masa-masa sekolah saya yang lebih banyak mainnya ketimbang belajarnya, tapi tenang saja, karena urusan akademik bagi saya tetap nomor wahid, hehe.

Bandung, 21 April 2020
Maaf ceritanya kepanjangan,
Tapi tetap dibaca sampai habis juga, kan? Hehe

2 komentar: