Apa kabar, nak? Sedang sibuk apa
sekarang?
Besok kalo ada waktu main ke rumah
ibu, ya. Ibu kangen.
Aku menghela
nafas.
Menunduk.
Mengamati kedua
kakiku yang terus melangkah.
Ingin mengeluh,
tapi kemudian malu. Malu pada mereka yang hidup dalam kesusahan.
Masalah
perasaan, hal yang dinamis.
Ah, selalu
begitu kata hati. Menghibur diri sendiri.
Akhirnya
kuputuskan mengangkat wajahku. Terik mentari menyilaukan. Kupasang kacamataku,
membentengi diri. Manusia pandai membuat benteng bahkan meski di dalam diri
telah hancur berkeping-keping. Kupercepat langkahku.
***
Ibu memelukku.
Erat sekali. Berharap ia tak mendengar degup jantungku yang tak beraturan. Ah,
kapan terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah ini?
Ia melepas
pelukannya, meraih tanganku. Ia menggandengku masuk ke dalam rumahnya. Tak
kusangka di sana bukan hanya ada kami.
“Kenalkan,
kenalkan. Ini Nadhira, calon menantuku.” Aku hanya diam mendengar pengumumannya
yang seolah diutarakan kepada seluruh penjuru dunia. Ada perasaan tersipu dan
kegalauan yang menerjangku bersamaan.
“Oh, ini ya,
yang katanya disebut-sebut sebagai menantunya Ibu Melly.” Ujar ibu-ibu yang menggunakan
dress berwarna hijau menyala. Aku hanya merespon dengan menggelengkan kepala sambil
tersenyum. Berharap mereka mengerti penolakan halusku.
“Memang cantik,
ya.” Tambah ibu-ibu yang menggunakan kacamata sambil tangannya meraih toples
berisi kue coklat. Sementara itu, ibu-ibu yang lainnya hanya tersenyum dengan
memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala.
Aku tak tahu
bahwa hari itu ada pertemuan arisan di rumahnya. Ibu mengajakku duduk dan
bergabung dengan teman-teman arisannya. Tatapanku menyapu sekeliling.
Aku hanya duduk di
sana dengan pikiran yang terbang ke masa lalu tiap melihat foto-foto di dinding
rumah itu.
“Gila ya,
mendaki itu nggak segampang yang aku pikir!” Ujar dia sambil memainkan tali
sepatunya. Saat itu kami tengah duduk di teras rumahnya.
“Lagian bintang
lapangan ngapain sok-sok ke gunung segala, sih.” Balasku sambil cengingiran.
“Iya yah,
ngapain juga yah.” Dia balas kebingungan. “Nggak akan mau lagi deh, itu pertama
dan terakhir kali.” Katanya.
“Awas, ya!” Aku
mendorong bahunya. Tak siap kudorong, ia jatuh ke samping. Dan kami berdua
tertawa. “Cemen ah, lo!” teriakku sambil masih tertawa.
Meskipun begitu
ia berhasil mencapai puncak dan mengambil gambar di sana.
“Ayo, Nadhira,
diminum tehnya. Kalau mau yag dingin di kulkas ada es batu, sudah tahu tempatnya,
bukan? Ambil sendiri saja ya kalau mau.” Ujar Ibu membuyarkan lamunanku.
“Iya, Bu.”
Jawabku pelan.
Tetapi, dasar
masa lalu, ia masih menarik-narik pikiranku. Aku tak bisa beranjak.
“Hallo, Ibu.” Ia
memelukku sembari bercipika - cipiki seperti setiap kali kami bertemu. “Evannya
ada?”
“Ada, dong. Di
dalam, sedang ada temannya juga datang.”
“Oh, siapa?”
Ibu menggandengku
masuk.
Seketika suasana
di dalam rumah menjadi kaku.
“Vinsyan? Kamu
ngapain di sini?” tanyaku. Ia gelagapan.
“Emang kenapa,
Nadhira? Dia juga temanku. Dan ini rumahku, aku bisa mengundang siapapun
temanku untuk main ke rumahku.” Evan menjawab pertanyaan yang kulayangkan pada Vinsyan.
Aku tertegun.
“Kok kamu
nyolot?” tanyaku dengan sangat pelan. Dan Evan kini yang gelagapan.
“Nadhira, duduk
dulu, ya. Ibu bikinin minuman dulu, ya.” Pinta Ibu.
“Enggak usah
repot-repot, Bu. Nadhira cuma mau kasih ini, kemarin Evan bilang lagi pengen
makan mie ayam Gobak Ijo. Katanya kakinya terkilir waktu main basket jadi nggak
bisa kemana-mana.”
Kuletakkan
bungkusan mie ayam itu di hadapannya. Lalu bersiap pergi.
“Kalau Vinsyan
mau, makan saja juga. Aku beli tiga bungkus, kok.” Kataku kemudian langsung
pergi.
***
Hari ini
kuputuskan untuk bertemu dengannya. Tak peduli dandananku kini seperti apa, Evan
tak akan pernah lagi mengatakan bahwa aku cantik.
“Evan, Ibu kamu
itu jahat. Bawa aku di hadapan teman-temannya dan bilang kalau aku ini menantunya!”
Aku menghela nafas.
“Aku bilang
jahat, karena aku tahu bahwa itu selamanya hanya omong kosong, bahwa kenyataannya
aku dan Evan tidak akan pernah bersatu lagi. Tidak akan pernah saling mencintai
lagi. Tidak akan pernah bisa bersama-sama lagi.”
“Van, kenapa
kamu diam saja?! Baguslah kalau kamu merasa bersalah. Kamu lebih menakutkan,
lebih jahat dari siapapun yang aku kenal!” dan angin menyerbuku.
“Aku ingin
pergi, tapi kamu seolah memenjarakan aku dalam lautan perasaan. Kamu pergi, dan
semua perasaan yang aku punya itu layaknya sampah! Aku sendiri tak bisa
menerjemahkan perasaanku kini seperti apa. Ibu kamu selalu membawa aku pada
harapan yang tinggi, untuk apa sebut-sebut aku adalah calon menantunya?! Ya,
selamanya hanya calon. Untuk apa sebut-sebut aku calon menantunya kalau bahkan
kamu sendiri sudah tak bisa lagi kujamah, tak bisa sama sekali kusentuh?!”
Aku menahan
gelombang air di mataku. Tanganku menyentuh pusaranya. Kurentangkan tanganku.
Kurasakan tanganku menyentuh jiwanya.
Dua kali sudah
aku jatuh. Ia membawa cintanya pergi untuk orang lain, serta merta ia membawa
dirinya jauh dariku menuju Tuhannya.
***
“Nadhira,
maafkan Ibu.”
Aku terkejut,
pukul berapa ini? Sudah berapa lama aku tertidur di atas pusaranya? Tiba-tiba
kusadari kehadiran ibunya di belakangku.
Ia duduk di
dekatku, memelukku dari belakang.
“Maafkan Ibu.”
Kubiarkan ia tetap memelukku. “Hari itu, ibu tahu, Vinsyan bukan teman biasa
bagi Evan. Ibu tidak tahu mengapa Evan bisa bertingkah seperti itu. Tetapi,
percayalah pada Ibu bahwa jauh sebelum hari itu, hanya ada namamu yang selalu
di sebut-sebutnya, yang selalu ia ceritakan pada Ibu, yang selalu ia
bangga-banggakan.”
“Andai bisa, Ibu
ingin kamu menghapus ingatan di hari itu, agar yang kamu kenang tentangnya
selalu hal-hal baik yang pernah kalian lewati bersama.”
“Ibu terlanjur
menyukaimu. Terlanjur senang jika memiliki anak perempuan seperti Nadhira. Ibu
menyebut kamu sebagi calon menantu bukan omong kosong, Nadhira.”
Aku tertegun.
Kulepas pelukannya.
“Ibu selalu
ingin kamu menjadi bagian keluarga kecil Ibu. Jika Evan mengkhianati kamu,
bisakah kamu memberi kesempatan kepada adiknya untuk membahagiakan kamu? Untuk
tak melakukan hal yang menyakitkan seperti yang pernah Evan lakukan padamu.”
“Adiknya?”
Dahiku
mengernyit.
Turut berbelasungkawa
BalasHapusAh, terima kasih. -Nadhira
Hapus-Evan
BalasHapus