08/05/18

Menginjakkan Kaki di Puncak Prau!


Gunung Prau, 2.565 mdpl

Hampir Batal

Saya sering bertanya-tanya mengapa kalau orang-orang sakit flu, mereka biasa saja tetapi mengapa kalau saya yang sakit flu mesti sering langsung parah? Apa karena sistem kekebalan tubuh saya lebih sensitif dibandingkan mereka?

Saya gampang sekali tertular flu, hanya karena saya menjenguk orang flu tersebut, atau main ke rumah teman saya yang kebetulan suaminya sedang flu  padahal saya sama sekali tidak ngobrol dengan suaminya, atau waktu berkunjung ke rumah bude saya yang sedang flu, bahkan saat seseorarang  yang tengah flu melintasi saya.

Saya flu berat seminggu sebelum mendaki. Saya pikir saya perlu membatali rencana mendaki saya. Berat hati sekali mengingat pemandu pendakian meminta kekonsistenan dalam pemberangkatan kali ini. Saya tahu bahwa beliau sudah berkorban banyak untuk persiapan pendakian. Dari mulai menyiapkan transportasi sampai mengurusi sleeping bag, matras bahkan kompor yang akan kami gunakan di puncak nanti.

Dua hari saya bolos kuliah dan beberapa hari lainnya hanya mengikuti setengah hari kuliah. I hate this feeling, when I shock because for two days I just sleeping on my bed, HEEEEEE. Bangun hanya untuk shalat dan makan, dan tentunya untuk ke belakang.

Saya kesulitan minum obat saat sakit. Mungkin tidak banyak orang tahu bahwa saya tidak bisa minum obat, jika saya sakit dan harus minum obat, ada teknik tertentu yang dilakukan agar tubuh saya tidak menolak obat itu. So Guys, bersyukurlah kalian jika meski harus sakit tetapi masih mampu untuk membeli obat, meminumnya, setidaknya ada harapan untuk kesembuhan. Di luar sana, banyak sekali orang seperti saya yang tidak pandai minum obat. So happy when my daddy send text to me, “Hebat kamu! Yang penting sudah minum obat.” Ditambah emote jempol. HUAAAAAH, senang sekali. saya masih anak perempuan kecil yang masih bahagia saat dapat pujian kecil dari orangtuanya. Pendakian ini juga merupakan salah satu pembuktian yang ingin saya tunjukkan kepada beliau, bahwa anak perempuannya yang dulu lebih sering mengurung diri di kamar kini berubah dan penasaran akan dunia yang terbentang luas nan indah.

Selanjutnya saya akan kasih tahu apa saja yang saya konsumsi sehingga kurang dari seminggu flu saya cepat mereda.  Flu saya yang kali ini komplikasi sampai ke mulut. Saya jadi sulit untuk makan karena mulai tenggorokan dan sampai ke mulut, sakit semua.

Saya minum madu untuk menetralkan pahit di lidah saya. Untuk mengobati flu, saya minum Intunal-F, ini saran dari dokter pribadi saya, HUEHEHEHE APANSIH NIN. Jadi saya percaya dan langsung mengonsumsi obat ini, soalnya si dokter juga minum ini kalau flu. Saya juga minum adem sari untuk mengobati panas dalam. SP Throches Stram juga saya minum untuk pelega tenggorokan. Terakhir, saya minum dua botol susu beruang dan mengonsumsi vitacimin yang dihisap itu. Alhamdulillah, beberapa jam sebelum keberangkatan saya merasa sehat dan segera packing, yeay! Saya juga minum jahe anget tapi yang langsung seduh, HEHE. Kebetulan adanya itu ya sudah itu yang diminum. HEHE. Yang paling penting dari semuanya adalah harus punya semangat dan kemauan untuk sembuh, Kawan!


Packing

Saya punya seorang teman, dia baik sekali pada saya. dia seseorang yang memilki cita-cita untuk bisa mendaki semua gunung yang ada di Indonesia. Maka dari itu, saya pinjam segala peralatan mendaki pada dia. Kecuali sleeping bag dan matras. Sebenarnya pengen pinjam sleeping bag nya dia, baru banget sampai paketannya di rabu sebelumnya. Bahannya mirip seperti dari bulu domba gitu, lembut banget. Tapi, saya sudah dipesankan di tempat lain. Bukan saya yang urus.

Dia juga mengajarkan saya bagaimana cara packing dan bagaimana supaya ranselnya itu bisa berdiri tegak. Ada tekniknya ternyata. Saya tuh perasaan tidak bawa banyak barang tapi entah kenapa tetap saja ranselnya terlihat penuh.


 Ketika Perjalanan Turun

Pertama, bagian dalam dilapisi kantong kresek besar yang khusus kresek sampah itu. Baru kemudian matras dibentuk berdiri sebagai tiang penyangga di dalam tas. Matras dilonggarkan hingga sekiranya sleeping bag dan barang lainnya muat disimpan di dalam tas. Peralatan yang sekiranya bakal urgent untuk dipakai, disimpan di bagian paling atas, termasuk jas hujan. Sleeping bag adalah yang terletak paling bawah.

“Nih, power bank dan senter, sudah aku cass buat kamu. Kamu pasti belum nyiapin!”

OMG, HOW KINDNESS YOU ARE!

Tiba-tiba saya berasa seperti bocah yang tengah disiapkan bekalnya oleh orangtua untuk pergi wisata. Beberapa p3k juga dia selipkan di dalam ransel.  “Ingat ya, Nin. Pulang dengan selamat adalah tujuannya. Puncak Cuma bonusnya.” Nasihat dia pada saya. “Ojeh, boss!”


Pendakian

Sekitar pukul sembilan malam pendakian baru dimulai. Dengan banyaknya istirahat di jalan, akhirnya kami tiba di puncak tengah malam. Pukul satu dini hari kami mulai mendirikan tenda dan beristirahat.

Asli, saya kedinginan. Tidak mood untuk melakukan apapun, kecuali tidur. Saya menempati tenda paling ujung arah matahari terbit. Usai Subuh kala itu, saya hendak tidur lagi karena dingin. Tetapi, angin yang kencang membuat jendela tenda saya terbang-terbang. Saya bangun dan hendak menutup rapat. Tetapi, masyaAllah langitnya. Samar-samar dari kejauhan matahari hendak terbit. Saya batal tidur dan langsung lompat ke luar melawan rasa dingin.

                              Dibangunkan Angin                                                 Menggapai Mentari dari Balik Tenda


 Selamat Pagi dari Sunrise


Saya sebanyak mungkin mengambil gambar dan membuat video. Kami juga sarapan di puncak, lalu packing untuk turun dan pulang.

Menunggu Sunrise

 
 Sarapan di Puncak
Hal Lucu

Hal lucu pertama adalah, ada seorang mas-mas yang saya pikir minta untuk difotokan sama saya. Begitu saya mendekat ke tenda dan teman-temannya, rupanya saya salah tangkap maksudnya. Dia bermaksud meminta foto saya dan mereka satu-persatu foto sama saya. Saya ketawa. Dan mengatakan bahwa saya salah paham, saya pikir saya cuma disuruh fotoin mereka. Ternyata mereka minta foto bareng saya, satu persatu pula. Saya menolak. Mereka tertawa.

Teman saya bisik-bisik, “Nin, jangan mau. Nanti foto kamu diupload terus mereka bikin caption ngaku-ngaku pacar kamu, gimana?” saya ketawa.

Waktu itu saya cuma berpikir bahwa mereka minta foto bareng, mungkin karena warna jaket yang saya gunakan waktu itu warnanya sama dengan jaket kelompok mendaki mereka.

Hal kedua, adalah waktu kami sedang istirahat saat turun pendakian. Waktu itu seorang mas-mas yang sedang turun juga melintasi kami, salah seorang diantara kami menyapanya, “sendirian, Mas?”
“Ndak, sama teman-teman.”  Mungkin teman-temannya lambat jalan di belakang, ia lebih duluan di depan sendirian. Lalu Syamil, anak usia 8 tahun yang menjadi wakil komando kami dengan polosnya nyelutuk, “Kok teman-temannya ditiinggalin toh mas?” saya ngakak.


 Bersama Syamil

Dan seketika mas-mas itu langsung duduk dipinggir menunggu teman-temannya. Mungkin tersinggung dengan ucapan Syamil.

 Tiba-tiba Lapar

Sekian cerita perjalanan saya saat mendaki Gunung Prau yang memiliki ketinggian 2.565 mdpl di daerah Dieng, Jawa Tengah pada bulan April. Apakah saya kapok? TIDAK!!! Apakah saya masih ingin mendaki gunung yang lain? AYO!!!!

3 komentar: